Orang sering berbicara tentang peringkat universitas, seolah-olah semua kualitas bermuara pada angka dan posisi dalam daftar yang dibuat entah oleh siapa. Kita mencatat jumlah riset, jumlah mahasiswa asing, indeks sitasi. Tapi apakah semua itu sungguh menjelaskan apa yang terjadi di ruang kelas?
Barangkali yang lebih layak diperhitungkan adalah apa yang tak tercatat: suara seorang dosen yang menjelaskan dengan sabar, mata mahasiswa yang perlahan menyala karena mengerti, atau keheningan yang tumbuh dari perenungan, bukan kebingungan.
Yang menghidupkan universitas bukanlah akreditasi, melainkan percakapan. Dan percakapan itu tak terjadi jika pengajar hadir hanya sebagai pengisi waktu, bukan sebagai penuntun jalan.
Tentu, sebuah kampus bisa megah. Tapi di balik fasad yang indah, adakah semangat untuk mendidik yang sungguh hidup? Di banyak tempat, kampus menjadi terlalu sibuk untuk memperhatikan siapa yang seharusnya paling diperhatikan: mahasiswa.
Mereka dididik untuk kompetensi, tetapi lupa disentuh sebagai manusia. Mereka dikejar deadline, tapi tak pernah diajak memahami mengapa mereka belajar. Dan para dosen pun, dalam sistem yang terlalu administratif, kadang lupa bahwa mereka seharusnya menjadi pengasuh akal dan hati, bukan sekadar penyampai modul.
Barangkali inilah saatnya kita kembali mengajukan pertanyaan: apa gunanya universitas jika ia gagal memanusiakan? Apa gunanya gelar dan peringkat jika tak ada kehangatan, tak ada kejelasan dalam mengajar, dan tak ada cahaya dalam pikiran mahasiswa?
Seorang dosen yang baik tak memerlukan pengakuan. Ia cukup tahu bahwa ilmunya tersampaikan, dan ada satu kepala yang kini mampu berpikir lebih jernih. Itu lebih dari cukup. Selebihnya, peringkat bisa menunggu.