Semasa hidupnya, Ali Akbar Navis, seorang sastrawan Indonesia yang terkenal dengan cerpennya yang berjudul “Robohnya surau kami”, seperti yang dituturkan oleh orang-orang terdekatnya pernah mengatakan bahwa “ada” sarjana ilmu sosial Indonesia yang pandai mengutip pendapat orang lain. Membaca tulisan-tulisan para cendekiawan sosial di media massa, maupun di jurnal-jurnal ilmu sosial yang terbit di Indonesia, saya bisa membenarkan pendapat Pak Navis.
Saya pernah membaca tulisan seorang antropolog Indonesia yang memiliki gelar Ph.D. dari universitas ternama di Amerika yang juga bergelar profesor. Meskipun tulisan-tulisannya memiliki banyak referensi, saya tidak menemukan pemikiran atau gagasannya sendiri (asli) yang diungkapkan dalam tulisan-tulisan tersebut. Orang awam mungkin akan terkagum-kagum dengan luasnya sumber bacaan dan banyaknya teori ilmu sosial (berasal dari pemikiran ilmuwan barat) yang dikuasai oleh para antropolog tersebut. Mungkin kehebatannya dalam mengutip teori-teori ilmiah bisa mengangkat ‘prestise’nya sebagai ilmuwan sosial di mata masyarakat awam. Tapi apa kontribusinya di bidang ini?
Apa alasannya tidak ada pendapat orisinal yang keluar dari para sarjana ilmu sosial ini? Jawabannya karena mereka tidak pernah melakukan penelitian ‘lapangan’. Hal ini sangat disayangkan, karena sebagian besar tulisan tentang masalah sosial di Indonesia ditulis oleh orang asing. Hal ini juga berlaku untuk ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, pendidikan, psikologi, politik dan sebagainya. Jika Anda tidak percaya, silakan cari ‘google scholar’. Jarang sekali sarjana ilmu sosial Indonesia banyak melakukan penelitian ‘lapangan’, banyak di antaranya adalah sarjana ilmu sosial yang pandai mengutip pendapat orang lain. Menurut saya, inilah yang menyebabkan banyak masalah sosial di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Jika ilmuwan sosial meneliti tentang santri, tentunya akan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Clifford Geertz (ilmuwan sosial ternama dari Pricenton University). Mengapa tidak ada ‘Clifford Geertz’ dari Indonesia?