Keprofesoran

Terdapat tiga peristiwa penting dalam perjalanan karir saya sebagai dosen. Pertama, ketika diangkat sebagai profesor di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada tahun 2010. Kedua, ketika dianugerahkan gelar adjunct professor oleh Universitas Negeri Malang (UM) pada tahun 2017. Terakhir, saat menerima Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai profesor di UM oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, yang berlaku mulai 1 Agustus 2021. Dalam penganugerahan tersebut, ada istilah penting yang diharapkan, yaitu ‘keprofesoran’, yang merujuk pada sifat dan kewibawaan sebagai profesor. Kewibawaan ini tidak dapat dinilai hanya dari angka-angka, seperti jumlah publikasi dan sitasi, karena kewibawaan tersebut hanya dapat dilihat melalui pandangan rekan-rekan sejawat (peer group).

The Inaugural Professor of Chemistry - 2011
Pengukuhan sebagai profesor di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada tahun 2011, satu tahun setelah ditetapkan sebagai profesor oleh UTM.
Pengukuhan sebagai profesor di Universitas Negeri Malang (UM) tahun 2022, satu tahun setelah ditetapkan sebagai profesor oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Republik Indonesia.

Jika kita merujuk pada istilah keprofesoran, itu mengacu pada profesionalisme dan profesi. Menurut penjelasan yang saya baca di Wikipedia, profesi adalah sekelompok individu yang disiplin, mematuhi standar etika, menganggap diri mereka sendiri, dan diterima oleh publik sebagai memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam badan pembelajaran yang diakui secara luas yang berasal dari penelitian, pendidikan, dan pelatihan pada tingkat yang tinggi dan siap untuk menerapkan pengetahuan ini serta mempraktikkan keterampilan ini demi kepentingan orang lain. Definisi ini, menurut saya, cocok untuk orang yang telah menjadi profesor.

Dari sudut pandang filosofis, profesi sebagai profesor tidak hanya sekadar gelar atau posisi, tetapi juga representasi dari pencarian berkelanjutan akan pengetahuan dan kebenaran. Dalam konteks epistemologi, profesor berperan sebagai penjaga dan penyebar pengetahuan, memastikan bahwa apa yang diketahui oleh manusia terus berkembang dan diperbaharui. Mereka berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan, menghubungkan pengetahuan yang telah ada dengan inovasi yang akan datang.

Dari sudut pandang filosofis, keprofesoran mencerminkan dedikasi dan komitmen seseorang untuk menguasai dan memajukan suatu bidang ilmu. Profesor tidak hanya mengejar kebenaran dan pengetahuan, tetapi juga membina generasi berikutnya dengan memberikan bimbingan dan inspirasi.

Dalam perspektif etika, peran profesor dapat dilihat sebagai manifestasi dari tanggung jawab moral untuk membimbing dan mendidik orang lain. Menurut pandangan deontologis Kantian, tindakan seorang profesor seharusnya didasarkan pada kewajiban moral untuk mengedukasi tanpa memandang konsekuensi pribadi. Selain itu, dari sudut pandang utilitarian, upaya profesor dalam menyebarkan pengetahuan dan keterampilan berkontribusi pada kebahagiaan dan kesejahteraan terbesar bagi masyarakat luas.

Patut dipahami bahwa profesor adalah jabatan. Dari jabatan ini, diharapkan seseorang dapat mengembangkan bidang ilmu yang diembankan kepadanya. Oleh karena ini adalah jabatan, diharapkan seorang profesor tersebut dapat bertindak layaknya sebagai sebuah institusi kecil untuk menjalankan tugasnya. Hal ini dapat dilihat di negara-negara maju seperti Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat, di mana seorang profesor mengetuai sebuah unit kecil yang mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan pendidikan dan riset. Di universitas di Jepang, unit ini dinamakan sebagai Koza. Sebuah Koza mempunyai laboratorium diketuai oleh seorang profesor, dan terdiri dari associate professor, assistant professor, postdoc, mahasiswa B.Sc., M.Sc., dan Ph.D. Dengan begitu, proses dalam pengembangan pendidikan dan riset dapat dilakukan dengan lebih terarah dan mendalam karena setiap Koza mempunyai spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu. Dari sinilah keprofesoran itu dapat diwujudkan dan berkembang dengan baik.

Melalui kacamata filsafat organisasi, struktur seperti Koza mencerminkan prinsip-prinsip sinergi dan holisme, di mana keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Ini sejalan dengan pemikiran Aristotelian tentang komunitas akademik sebagai ekosistem yang saling bergantung. Selain itu, dari sudut pandang filsafat ilmu, spesialisasi dalam Koza memungkinkan pendalaman pengetahuan yang lebih intensif, yang pada gilirannya mendorong kemajuan ilmiah dan teknologis yang lebih signifikan.

Namun, tulisan ini sebenarnya mengkritik diri sendiri. Setidaknya dengan menulis ini, saya sadar akan tugas berat yang ada di tangan saya sebagai seorang profesor. Saya diingatkan untuk selalu menjunjung tinggi etika, integritas, dan komitmen terhadap penelitian dan pendidikan, demi kepentingan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dalam refleksi eksistensial ini, muncul kesadaran bahwa peran profesor bukan hanya profesi, tetapi juga panggilan hidup yang menuntut autentisitas dan tanggung jawab pribadi. Menurut filsuf seperti Sartre dan Heidegger, individu harus hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mereka anggap penting. Dengan demikian, sebagai profesor, ada tuntutan internal untuk terus berkembang, tidak hanya dalam pengetahuan tetapi juga dalam karakter, sehingga dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi orang lain.

Akhirnya, melalui lensa filsafat pendidikan, peran profesor dapat dilihat sebagai agen transformasi sosial. Mengikuti pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan sebagai praksis pembebasan, profesor memiliki potensi untuk memberdayakan individu dan komunitas melalui pengajaran yang kritis dan reflektif. Dengan demikian, komitmen terhadap etika dan integritas bukan hanya demi kepentingan pribadi atau institusional, tetapi juga sebagai kontribusi terhadap terciptanya masyarakat yang lebih adil dan tercerahkan.