Politik sering diibaratkan sebagai permainan catur, di mana setiap pemain berusaha mencapai kemenangan dengan berbagai strategi dan taktik. Dalam era ‘post-truth’ saat ini, narasi menjadi semacam ‘ratu’ dalam permainan catur politik ini, instrumen dengan kekuatan paling besar dan paling sering dimanipulasi oleh pemain – individu atau kelompok dengan kepentingan tertentu – untuk mencapai tujuan politik atau bisnis mereka.
‘Post-truth’ bisa dianalogikan sebagai penonton catur yang lebih terpikat oleh gaya permainan catur daripada strategi yang digunakan. Dalam hal ini, fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Fenomena ini seolah penonton catur yang terpesona oleh gerakan ratu, tanpa memahami tujuan dan strategi sebenarnya.
Kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 dan 2020 menggambarkan dengan jelas bagaimana ‘permainan catur’ ini berlangsung. Narasi tentang imigrasi ilegal, misalnya, bergerak seperti ratu di papan catur, mencapai penonton yang luas dan diterima oleh sebagian masyarakat, meski statistik dan data menunjukkan sebaliknya.
Keberhasilan pemain dalam menggerakkan ‘ratu’ atau narasi ini sangat bergantung pada tingkat literasi dan kemampuan pemikiran kritis penonton – dalam hal ini, masyarakat. Bagi mereka yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang ‘permainan’, gerakan-gerakan ratu atau narasi yang disampaikan media, cenderung lebih mudah diterima dibandingkan strategi atau data aktual.
Namun, ‘pertandingan catur’ ini bukan hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di berbagai negara lain, termasuk Indonesia. Selama pemilihan presiden Indonesia 2019, narasi juga menjadi ‘ratu’ dalam permainan politik, dibentuk dan disebarkan melalui media sosial dan media massa untuk mempengaruhi opini publik.
Dalam konteks ini, tugas kita sebagai penonton adalah bukan hanya pasif menonton, tapi juga belajar dan memahami ‘permainan’. Peningkatan literasi politik adalah langkah awal untuk memahami ‘pertandingan’, membantu kita mengidentifikasi dan menghindari ‘gerakan-gerakan palsu’. Tapi, itu saja tidak cukup. Kita juga harus belajar menghindari bias, atau ‘kegemaran pada gerakan tertentu’, dalam memahami permainan.
Inilah mengapa, tugas mendidik penonton menjadi sangat penting dan ini adalah pekerjaan para intelektual, termasuk saya, penulis artikel ini. Melalui penulisan dan diskusi, kita dapat membantu meningkatkan pemahaman publik tentang ‘permainan’ ini, dan bagaimana kita bisa berpartisipasi dengan bijaksana dan kritis.
Sulit, namun sangat penting. Kita harus mengingat bahwa, sebagai penonton, kita memiliki kekuatan untuk memahami dan menentukan hasil ‘pertandingan’. Dengan meningkatkan literasi politik dan menghindari bias, kita bisa memastikan permainan catur demokrasi tetap sehat dan berjalan adil, baik di Amerika, Indonesia, maupun di seluruh dunia. Dan melalui pendidikan dan peningkatan pemahaman ini, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan permainan yang lebih adil dan transparan, dan demokrasi yang sehat dan bertahan lama.