Menggambarkan fenomena riset yang hampa, coba bayangkan seseorang yang sedang membuat kue. Dia mengikuti setiap tahapan dengan cermat, mengukur bahan dengan tepat, memanaskan oven pada suhu yang benar, dan mencampur semua bahan dengan urutan yang tepat. Akan tetapi, dia lupa menambahkan gula. Hasilnya? Kue yang terlihat sempurna, tetapi saat dicicipi, rasanya hambar dan tak berarti. Inilah yang terjadi ketika riset dilakukan hanya untuk mencapai angka dan prestise, bukan untuk mencari pengetahuan: tampak sempurna dari luar, namun kosong dan tak berarti di dalamnya.
Dalam konteks riset, sintaksis adalah seperti resep dalam pembuatan kue. Itu adalah rangkaian proses formal dalam riset, mulai dari merumuskan hipotesis, pengumpulan data, analisis data, hingga penulisan dan publikasi hasil penelitian. Sementara itu, semantik dalam riset adalah seperti gula dalam kue, yaitu unsur yang memberikan rasa dan makna. Tanpa semantik, atau tujuan yang jelas dan bermanfaat, riset menjadi serangkaian proses yang hampa, seperti kue tanpa gula.
Riset haruslah memiliki tujuan untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab, mengatasi masalah nyata di masyarakat, atau memajukan pengetahuan dalam bidangnya. Jika hanya diarahkan untuk meningkatkan branding atau meraih angka publikasi tertentu, maka riset tersebut akan kehilangan ‘rasanya’, menjadi tidak relevan dan tidak memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Kita, sebagai bagian dari komunitas penelitian dan pendidikan, harus memastikan bahwa ‘gula’ atau semantik ini tidak pernah hilang dari ‘kue’ riset kita. Jangan sampai kita terjebak dalam pencarian angka dan prestise, sehingga melupakan makna dan manfaat nyata dari riset yang kita lakukan. Dengan begitu, riset yang kita hasilkan tidak hanya akan tampak menarik dari luar, namun juga memiliki ‘rasa’ dan ‘manfaat’ yang nyata bagi kemajuan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, dan juga mencerdaskan anak bangsa!