Tidak ada yang lebih mudah daripada menjadi penonton yang berteriak dari bangku penonton, menuding dan mengkritik tanpa pernah turun ke lapangan. Fenomena ini, yang kita kenal sebagai ‘nyinyir’, adalah sindrom global yang tidak hanya terbatas pada Indonesia.
Bayangkan seseorang yang pernah tinggal di Indonesia, namun kini berada jauh di negeri orang. Dia melihat berita tentang negaranya, membaca statistik pendidikan, dan merasa perlu untuk mencibir. “Lihatlah negara kita,” katanya, “begitu jauh tertinggal.” Padahal, dia sendiri tidak pernah berkontribusi untuk perbaikan kondisi tersebut.
Apakah kita harus menyalahkan orang tersebut? Tentu dia juga memiliki hak untuk berpendapat, namun ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan.
Pertama, ada konsep tentang ‘identitas dan kepemilikan’. Meski dia tidak tinggal di Indonesia, dia mungkin merasa memiliki ikatan kuat dengan negara tersebut. Mungkin dia lahir dan dibesarkan di sana, atau keluarganya masih tinggal di sana. Ikatan ini bisa membuatnya merasa berhak untuk mengkritik, meski tidak berkontribusi.
Kedua, ‘persepsi dan bias’ bisa mempengaruhi pandangannya. Media, pengalaman pribadi, atau opini orang lain bisa membentuk cara pandangnya terhadap Indonesia. Dia mungkin melihat negara tersebut dalam cahaya negatif dan merasa perlu untuk mengkritik.
Ketiga, ‘pengaruh sosial dan lingkungan’ bisa mempengaruhi pandangannya. Jika dia tinggal di negara yang dia anggap lebih maju, dia mungkin merasa perlu untuk mengkritik Indonesia karena merasa negara tersebut kurang dalam beberapa aspek.
Terakhir, ‘kurangnya empati dan pemahaman’ bisa membuatnya kurang peka. Dia mungkin tidak sepenuhnya memahami tantangan dan masalah yang dihadapi oleh Indonesia, yang bisa membuatnya kurang empati dan lebih cenderung untuk mengkritik.
Namun, di tengah semua ini, kita harus ingat bahwa kritik, jika dilakukan dengan cara yang konstruktif dan berdasarkan pemahaman yang baik tentang situasi, bisa menjadi alat yang sangat berharga untuk perubahan dan peningkatan. Kritik yang tidak konstruktif atau berdasarkan persepsi yang salah, sebaliknya, bisa menjadi merusak dan tidak membantu.
Setelah setahun saya pulang ke tanah air, saya percaya bahwa setiap usaha, tidak peduli seberapa kecil, dapat membantu membuat perubahan positif. Insya Allah, saya akan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi tanah kelahiran saya, Indonesia.
Mari kita pastikan bahwa sebelum menunjuk dan mencibir, kita memahami situasi sepenuhnya dan berkontribusi dalam cara yang positif dan konstruktif. Kita harus selalu ingat bahwa setiap orang melihat dunia melalui lensa yang unik. Kebijaksanaan terletak pada pemahaman dan penghormatan terhadap perbedaan ini. Bijaksana mengakui utopia di dunia ini adalah tantangan: keberagaman nilai, sifat inheren manusia, sumber daya yang terbatas, dinamika perubahan, dan kebutuhan akan tantangan. Sempurna mungkin hanyalah ilusi, namun kemajuan adalah kenyataan yang dapat kita raih melalui kerja keras dan dedikasi. Kita harus terus berusaha untuk memperbaiki dunia ini, memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil menuju masa depan yang lebih baik didasarkan pada pemahaman yang mendalam dan empati terhadap situasi yang dihadapi oleh orang lain.
.