Ada kecendrungan terjadi paradoks dalam kebijakan pendidikan tinggi Indonesia yang memperlihatkan perbedaan mencolok antara nilai-nilai budaya yang kita hargai dan implementasi praktik kebijakan kita. Fokus utama paradoks ini ada dalam pendidikan tinggi, di mana kita menemui perbedaan dramatis antara nilai-nilai yang kita junjung tinggi sebagai bangsa dan kebijakan pendidikan yang kita adopsi.
Budaya Indonesia, seperti yang diungkapkan melalui penelitian dari World Values Survey dan Teori Dimensi Budaya Hofstede, memberi penekanan kuat pada nilai-nilai sosial dan religius. Kita menghargai prinsip-prinsip seperti kebersamaan dan kerjasama, yang menjadi pilar masyarakat kita. Namun, kebijakan pendidikan tinggi yang ada tampaknya bergerak dalam arah yang berlawanan dengan nilai-nilai ini, dengan memberikan prioritas kepada elemen-elemen seperti kompetisi dan peringkat.
Munculnya kesenjangan ini menunjukkan adanya tekanan untuk menyesuaikan diri dengan model pendidikan yang lebih “Barat” atau global, yang biasanya mementingkan kompetisi dan produktivitas. Walaupun model ini mungkin berhasil dalam beberapa konteks, bukan berarti ia sesuai atau menguntungkan di setiap budaya atau situasi.
Dalam era globalisasi, banyak negara, termasuk Indonesia, sedang beradaptasi dengan model pendidikan Barat yang menekankan kompetisi individu. Di Indonesia banyak sekolah mulai menerapkan kurikulum Barat, namun hal ini menciptakan tekanan bagi beberapa siswa, guru, dan orang tua yang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Dalam konteks pendidikan, penting bagi Indonesia untuk menemukan keseimbangan antara pendekatan global dan tradisi lokal.
Namun, perlu juga ditekankan bahwa kompetisi dalam pendidikan tinggi bukanlah suatu hal yang negatif per se. Tergantung pada konteks budayanya, pendekatan yang berorientasi kompetisi bisa memiliki dampak yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, tampaknya pendekatan ini menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan pendidikan dan berpotensi merusak semangat kerjasama dan kebersamaan yang kita nilai dalam budaya kita.
Untuk menyelesaikan paradoks ini, kita mungkin perlu merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih mencerminkan dan menghormati nilai-nilai budaya Indonesia. Mungkin ada kebutuhan untuk memasukkan prinsip-prinsip seperti kerjasama dan kebersamaan dalam struktur dan sistem pendidikan tinggi kita, bukan hanya berfokus pada kompetisi dan produktivitas. Pendekatan semacam ini mungkin akan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan produktif, yang sejalan dengan nilai-nilai budaya dan sosial kita.
Untuk memahami paradoks ini lebih dalam, kita dapat melihatnya melalui lensa teori-teori filosofis seperti pragmatisme, konstruktionisme sosial, dan postmodernisme. Menurut teori-teori ini, realitas sosial kita dibentuk oleh persepsi, pengalaman, dan interaksi kita. Nilai-nilai sosial dan religius, serta pentingnya kebersamaan dan kerjasama, adalah bagian integral dari realitas sosial kita sebagai bangsa Indonesia.
Namun, ada ketidaksesuaian antara realitas sosial ini dan praktek kebijakan pendidikan tinggi kita, yang lebih banyak mengikuti model global atau Barat. Ini bisa dijelaskan dengan konsep hegemoni budaya dari Antonio Gramsci, di mana ideologi dominan atau global dapat merasuk dan mempengaruhi sistem dan struktur lokal.
Kompetisi, dalam beberapa kasus, dapat merangsang inovasi dan peningkatan kualitas, seperti yang dijelaskan dalam teori utilitarianisme. Namun, dalam konteks budaya seperti Indonesia, pendekatan ini dapat mengikis semangat kerjasama dan kebersamaan dan merusak kualitas pendidikan.
Menurut etika Immanuel Kant, kebijakan dan tindakan harus selaras dengan prinsip moral universal. Dalam hal ini, prinsip-prinsip ini mencakup nilai-nilai sosial dan religius dan pentingnya kebersamaan dan kerjasama. Oleh karena itu, mencari cara untuk menyatukan nilai-nilai ini dalam struktur dan sistem pendidikan tinggi kita mungkin menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan produktif, yang sejalan dengan nilai-nilai budaya dan sosial kita.