Dalam masyarakat kontemporer, kita kerap kali terperangkap dalam kecelaruan informasi. Sehari-hari, kita dibanjiri oleh beragam pendapat, kritik, dan opini, terutama dari media sosial. Pertanyaannya, seberapa dalam kita memahami esensi dari kritik-kritik yang kita dengar? Bagaimana kita memilah antara kritik yang berbobot dan yang permukaan saja?
Kritik dari era post-truth
Kritik dari era post-truth menjadi cerminan betapa era disinformasi saat ini memungkinkan kebenaran untuk tumpul di hadapan emosi dan persepsi. Sebagai ilustrasi, sebuah proyek infrastruktur yang dimaksudkan untuk memajukan masyarakat bisa salah ditafsirkan sebagai agenda tersembunyi dari pemerintah. Parahnya, dalam zaman serba digital ini, ambiguitas informasi justru semakin merajalela.
Kritik dari mereka yang menyaksikan langsung
Di sisi lain, kritik dari mereka yang menyaksikan langsung menyuarakan perspektif mereka yang merasakan dampak langsung dari suatu kebijakan. Misalnya, petani yang kesulitan memasarkan hasil panennya karena suatu kebijakan, menampilkan realitas konsekuensi kebijakan tersebut.
Kritik dari mereka yang terzalimi
Kritik dari mereka yang terzalimi mencerminkan kedalaman perasaan mereka yang bukan hanya sebagai saksi, melainkan sebagai korban. Bagi masyarakat adat, hutan lebih dari sekadar sumber daya; itu adalah identitas mereka. Ketika hutan lenyap, mereka bukan hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga warisan budaya dan sejarah.
Kritik berdasarkan “ikut-ikutan”
Sebaliknya, kritik yang seringkali mengejutkan dan membingungkan adalah kritik berdasarkan “ikut-ikutan” atau kritik yang didasari oleh kebodohan. Meski partisipasi masyarakat dalam diskusi publik sangat penting, tetapi bagaimana jika kritik tersebut bersifat impulsif tanpa pemahaman yang mendalam? Ini menggambarkan bagaimana masyarakat bisa terjebak dalam sebuah echo chamber, tempat pendapat yang populer dianggap benar hanya karena kerap diulang-ulang.
Kita masuk dalam kategori yang mana dari keempat kategori di atas?
Dalam era informasi saat ini, tanggung jawab kita bukan hanya untuk tetap terinformasi, namun juga untuk memahami konteks dan nuansa di balik setiap informasi. Filsuf Yunani Plato pernah mengatakan, “Pengetahuan yang tidak disertai pemahaman adalah tak lebih dari bayangan di dinding gua.” Tanpa pemahaman mendalam, kita risiko menjadi bagian dari keramaian tanpa substansi, bukan agen perubahan. Setiap kritik memang berharga, namun pemahaman mendalam menjadi penentu dalam membedakan antara suara yang memiliki esensi dan yang hanya noise saja.