Alkisah si Polan, seorang dosen di sebuah universitas yang suka mengobrol dan menulis blog. Ia merasa kesal saat seorang mahasiswa meminta diskusi pertama kali dengan cara online. Ia merasa itu tidak sopan dan mengingatkannya akan pentingnya tradisi lisan yang selalu dijaga di desanya. Ia pun berkata kepada mahasiswanya, “Walaupun kita menggunakan teknologi, kita perlu juga bertatap muka. Jangan lupa tradisi lisan yang selalu kita jaga di desa kita, terutama di zaman yang serba artifisial dan tidak nyata.
Mahasiswanya mengangguk dan meminta maaf. Mereka pun akhirnya bertemu secara langsung dan diskusi berjalan dengan hangat dan penuh keakraban.
Polan mengingat kembali masa kecilnya di sebuah desa di Minangkabau, saat ia sangat penasaran dengan arti kata “kabar”. Suatu hari, ia bertanya kepada kakeknya yang bijak, “Kakek, apa itu kabar?”
Kakeknya tersenyum dan berkata, “Dulu, nenek moyang kita menyampaikan kabar secara lisan. Setelah berburu dan bertani sepanjang hari, pada malamnya mereka merumpi mengelilingi api unggun sambil berbagi berita dan ubi jalar bakar.”
Polan bertanya lagi, “Lalu bagaimana jika ada yang tidak bisa hadir, Kakek?”
Kakeknya menjawab, “Nah, itulah masalahnya. Oleh karena itu, muncullah budaya kabar melalui tulisan. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan kabar tanpa harus hadir merumpi.”
Polan merasa puas dengan penjelasan kakeknya. Namun, suatu hari ia melihat orang-orang di desanya sibuk dengan handphone mereka. Ia bertanya lagi kepada kakeknya, “Kakek, sekarang ini orang-orang sibuk dengan handphone mereka. Apakah ini juga kabar?”
Kakeknya tersenyum dan berkata, “Ya, Polan. Sekarang ini, kabar bisa disampaikan melalui handphone. Semua yang disampaikan melalui handphone tersebut adalah kabar.”
Polan merasa bingung dan bertanya, “Lalu, bagaimana cara menjawab pertanyaan ‘Bagaimana kabar’, Kakek?”
Kakeknya tertawa dan berkata, “Cukup jawab dengan menulis blog, Polan!”
Polan pun tertawa dan berkata, “Baiklah, Kakek. Saya akan menjawab dengan menulis blog jika ada yang bertanya ‘Bagaimana kabar’.”
Namun, kakeknya menambahkan, “Tapi ingat, Polan. Walaupun zaman sudah berubah dan kabar bisa disampaikan melalui handphone, tradisi lisan tetap diperlukan. Jika tidak, hidup akan kering dan kehilangan kehangatan. Terutama di zaman yang serba artifisial ini, kita perlu menjaga tradisi lisan untuk menjaga kehangatan dan keceriaan dalam hidup kita.”
Polan mengangguk dan berkata, “Baiklah, Kakek. Saya akan tetap menjaga tradisi lisan di desa kita.”
Sejak saat itu, Polan selalu menjawab pertanyaan “Bagaimana kabar” dengan menulis blog, tapi ia juga selalu menyempatkan diri untuk merumpi dengan teman-temannya di desa. Ia merasa hidupnya menjadi lebih hangat dan penuh keceriaan.
Moral dari cerita absurd ini adalah bahwa walaupun zaman sudah berubah dan teknologi semakin canggih, tradisi lisan tetap diperlukan untuk menjaga kehangatan dan keceriaan dalam hidup kita. Selain itu, dalam berkomunikasi, kita perlu memasukkan unsur komunikasi personal untuk menjaga keakraban dan kehangatan dalam hubungan kita dengan orang lain, terutama di zaman yang serba artifisial ini.
Si Polan itu kemungkinan besar adalah saya. 😊