Ilmu filsafat vs ilmu teknikal: Bicara besar vs bicara presisi

Saya telah mengamati bahwa belakangan ini muncul perdebatan yang kurang konstruktif dan cenderung bersifat post truth, khususnya antara domain filsafat dan ilmu teknikal. Sayangnya, ketidakseimbangan dalam perdebatan ini seringkali menimbulkan kegaduhan dan menjadi kritikan yang tidak membangun. Dalam dunia ilmu pengetahuan, ada dua cabang utama yang kerap dibandingkan: filsafat dan ilmu teknikal. Meskipun kedua cabang ilmu ini memiliki karakteristik, pendekatan, dan tujuan yang berbeda, keduanya saling melengkapi dalam memahami realitas dunia.

Perspektif dan pendekatan

Filsafat berfokus pada pemahaman konsep-konsep dasar, prinsip-prinsip umum, dan pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi, moralitas, dan realitas. Orang yang mendalami filsafat cenderung melihat dunia dari perspektif yang luas, mencari makna dan tujuan dari segala sesuatu. Mereka seringkali hanya tahu “kulit” dari suatu masalah, namun memiliki pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip dasarnya. Di sisi lain, ilmu teknikal seperti ekonomi, teknik, dan teknik industri berfokus pada pemahaman proses-proses spesifik, teknik, dan metode. Orang teknikal memiliki keahlian dalam memahami detail dan prosedur. Mereka melihat dunia dari perspektif yang lebih rinci, mencari solusi praktis untuk masalah-masalah konkret.

Bicara besar vs bicara teknis

Orang-orang filsafat seringkali dituduh “bicara besar” tanpa substansi konkret. Mereka mungkin berbicara tentang konsep-konsep abstrak yang sulit dipahami oleh orang awam. Namun, di balik kata-kata mereka, terdapat pemikiran mendalam dan refleksi tentang dunia. Sementara itu, orang teknikal berbicara dengan presisi. Mereka menggunakan data, fakta, dan analisis untuk mendukung argumen mereka. Bagi mereka, keakuratan dan detail adalah kunci.

Tidak dapat dipungkiri, kadang-kadang ada kalanya orang filsafat dianggap “omong kosong” karena berbicara tentang hal-hal yang tampaknya tidak relevan atau terlalu abstrak. Namun, ini bukan berarti bahwa apa yang mereka katakan tidak memiliki nilai. Filsafat membantu kita memahami dunia dari perspektif yang berbeda, menantang asumsi-asumsi kita, dan memperluas wawasan kita. Di sisi lain, orang teknikal dihargai karena “omong presisi” mereka. Mereka berbicara berdasarkan bukti, data, dan analisis. Namun, terlalu fokus pada detail bisa membuat seseorang kehilangan gambaran besar.

Menjadi ahli yang mumpuni

Untuk benar-benar berkontribusi dalam bidang masing-masing, seseorang harus menjadi ahli yang mumpuni. Baik sebagai ahli filsafat atau ahli teknikal, setengah-setengah dalam penguasaan ilmu hanya akan menghasilkan pemahaman yang dangkal. Orang yang setengah-setengah seringkali berakhir dengan menghakimi dan mencap orang lain sebagai bodoh, tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sendiri yang memiliki kekurangan dalam pemahaman. Memiliki keahlian yang mendalam tidak hanya memungkinkan seseorang untuk memberikan kontribusi yang berarti, tetapi juga memberikan perspektif yang lebih luas dan empati terhadap orang lain.

Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak ilmuwan dan matematikawan terkenal yang kemudian dikenal sebagai filsuf besar. Sebagai contoh, Bertrand Russell, yang awalnya belajar matematika, kemudian menjadi salah satu filsuf paling berpengaruh di abad ke-20. Thomas Kuhn, dengan latar belakang pendidikan fisika, lebih dikenal sebagai sejarawan dan filsuf sains, memberikan kontribusi penting dalam pemahaman tentang paradigma dan revolusi ilmiah. Fisikawan seperti Albert Einstein dan Richard Feynman, meskipun terutama dikenal karena kontribusi mereka dalam fisika, juga dikenal memiliki pemikiran filsafat yang mendalam. Pemikiran mereka tentang alam semesta, realitas, dan pengetahuan menunjukkan bahwa batasan antara ilmu teknikal dan filsafat bisa sangat tipis. Ini menegaskan bahwa pemahaman mendalam dalam satu bidang seringkali membuka pintu ke pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan eksistensi kita di dalamnya.