Dalam gema kesunyian, lagu “Honesty” karya Billy Joel berbisik, mengungkap kerinduan akan kejujuran yang murni. Liriknya, bagai sajak yang menari, memaparkan kesendirian kejujuran di tengah keramaian dunia:
“Honesty is such a lonely word. Everyone is so untrue. Honesty is hardly ever heard. And mostly what I need from you.”
Di zaman yang terus bergerak cepat, di mana topeng-topeng menutupi wajah asli dan pura-pura menjadi sandiwara sehari-hari, kejujuran menjadi permata langka yang tersembunyi. Seperti seorang tua, pedagang asongan, di Oro-oro Dowo, Malang yang saya temui, yang dengan kesederhanaannya, bagai titik terang di tengah kegelapan, mengingatkan kita pada esensi kehidupan yang sesungguhnya.
Menulis, bagi saya, adalah seni melukis jiwa dengan kata. Setiap frasa, setiap nada dalam kalimat, adalah cermin jiwa penulisnya. Sastra, dengan segala keindahannya, kadang meminjam hiperbolis untuk mempercantik narasi. Namun, ketika hiperbolis berlebihan merasuki biografi dan narasi, ia bisa menjadi bayang-bayang keraguan dan ketakutan.
Ironi memang, di saat kita menyadari bahwa kejujuran dalam menampilkan diri tanpa hiasan justru lebih berharga. Keberanian untuk berdiri dengan segala kekurangan, menunjukkan diri yang otentik, adalah refleksi dari kedalaman jiwa. Namun, paradoks tercipta ketika pendidikan yang tinggi justru membawa seseorang ke dalam labirin topeng dan kesempurnaan.
Manusia-manusia dengan jiwa lugu, yang hidup dalam kesederhanaan, menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering. Mereka, dengan keaslian mereka, mengajarkan kita tentang hakikat kehidupan: kejujuran dan keautentikan.
Namun, semakin hari, dunia seolah diliputi kabut “kamuflase”. Ketidakjujuran bukan lagi pengecualian, melainkan norma yang diterima. Apakah tekanan zamanlah yang mendorong kita ke jurang ketidakjujuran? Atau ketakutan akan penilaian yang memaksa kita bersembunyi? Apapun jawabannya, kita harus kembali merenung, mencari esensi kehidupan yang kita dambakan.