Kebebasan dan tanggung jawab: Dua sisi mata uang dalam publikasi ilmiah

Ah, kebebasan—kata yang selalu menjanjikan angin segar di tengah kekakuan struktural dan birokrasi akademis. Menteri kita, dalam sebuah langkah yang bisa dianggap sebagai revolusi kecil, telah memutuskan untuk tidak lagi mewajibkan mahasiswa pasca sarjana mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal-jurnal ilmiah. Sebuah keputusan yang, bagai pisau bermata dua, memotong dua sisi realitas sekaligus.

Kebebasan ini, saya percaya, adalah sebuah oase di tengah gurun formalitas yang kering dan tandus. Selama ini, jurnal-jurnal ilmiah seringkali menjadi semacam ‘pasar’—tempat di mana kebenaran ilmiah diperjualbelikan, di mana etika akademis seringkali dikorbankan demi kepentingan lain: reputasi, jabatan, atau bahkan uang. Kebebasan ini adalah pembebasan dari trik-trik yang tidak etis, dari bayar-membayar, dan dari keharusan memenuhi kriteria yang terkadang lebih menghambat kemajuan ilmu pengetahuan daripada membantu.

Namun, kebebasan ini juga bisa menjadi api yang membara jika tidak dijaga dengan baik. Ia bisa menjadi alat untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, untuk menurunkan standar ilmiah yang telah kita bangun selama ini. Kita berisiko kehilangan esensi dari apa yang kita perjuangkan: kebenaran dan etika ilmiah yang dipertanggungjawabkan.

Kita berdiri di antara langit kebebasan dan bumi tanggung jawab. Keduanya perlu dijaga agar tidak saling meniadakan. Penyerdehanaan memang penting, tetapi jangan sampai kita kehilangan esensi. Kita perlu memastikan bahwa ada mekanisme kontrol yang kuat, yang bisa memfilter mana yang benar-benar ilmiah dan mana yang tidak.

Kebebasan yang tak dibarengi oleh tanggung jawab adalah sebuah anarki—sebuah kekacauan tanpa tatanan. Sebaliknya, tanggung jawab yang diberlakukan tanpa adanya ruang kebebasan adalah tirani, sebuah penindasan yang mengekang. Kita berada dalam pencarian sebuah titik tengah: sebuah ruang di mana ilmu pengetahuan dapat bermekaran, namun tetap memiliki kompas moral yang tak goyah.

Kebijakan yang baru saja diresmikan ini, bisa kita anggap sebagai langkah permulaan—sebuah pintu yang terbuka, mempersilakan kita memasuki ruang yang lebih luas. Tapi, sebuah pintu hanyalah awal; ia bukanlah tujuan. Di balik pintu itu, ada jalan yang harus kita tempuh, sebuah jalan yang penuh dengan pertimbangan dan kebijaksanaan, agar kebebasan yang kita perjuangkan tidak berubah menjadi alat penyelewengan.

Kita berada di sebuah titik krusial, di mana kebebasan dan tanggung jawab harus berjalan beriringan, saling memeriksa dan memperkuat. Hanya dengan memadukan keduanya—dengan bijak—kita bisa memastikan bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia tidak hanya akan tumbuh, tetapi juga mempertahankan integritasnya. Di sinilah kita menemukan makna dari sebuah peradaban yang kita idamkan: sebuah peradaban yang maju tetapi juga beretika.

Kebebasan dan tanggung jawab—dua kata yang harus selalu berjalan beriringan, bagai dua penari yang menari di atas tali keseimbangan. Keduanya perlu, keduanya penting, dan keduanya harus selalu dijaga.