Dalam ruang kelas di Universitas Negeri Malang (UM), di mana generasi muda bersemangat menggali ilmu, hari ini saya berkesempatan menjadi pemandu intelektual. Mata kuliah yang saya bawakan bukanlah sembarang mata kuliah; ia adalah Filsafat Ilmu, sebuah jembatan antara pengetahuan dan pemahaman, sebuah dialog antara rasio dan intuisi. Dan inilah, kawan-kawan, topik pembuka yang akan mengiringi kita sepanjang semester ini.
Filsafat, sebuah kata yang seringkali dianggap berat dan abstrak, kini menjadi bahan diskusi di antara calon doktor—mereka yang akan menjadi pemikir dan ilmuwan masa depan. Ya, ada yang bilang filsafat ini hanya sekedar hiasan intelektual ataukah ia memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita memahami dunia? Itulah pertanyaan yang perlu diselami, bersama-sama, dalam perjalanan akademik ini.
Dalam labirin kata dan pikiran yang disusun oleh Bertrand Russell dalam “The Problems of Philosophy,” kita diajak merenungkan tentang apa yang seringkali dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan abadi: adakah dunia luar yang bisa dibuktikan? Apakah sebab dan akibat lebih dari sekadar ilusi? Apakah moralitas bisa dibenarkan dalam kerangka objektif? Russell, dengan kepiawaiannya, menunjukkan bahwa filsafat—meski seringkali dianggap sebagai upaya mencari jawaban—justru berharga karena kegagalannya memberikan kepastian.
Russell tidak bersembunyi di balik dogma atau kepastian. Ia mengajak kita untuk mempertanyakan, bukan untuk menemukan jawaban yang tegas. Dalam hal ini, ia lebih memilih untuk berbicara tentang ‘pengetahuan’ daripada ‘metafisika,’ sebuah pilihan yang menurutnya lebih mungkin memicu diskusi yang konstruktif. Jika dunia luar itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan, bagaimana kita bisa mengklaim mengetahui sesuatu tentangnya? Russell menawarkan sebuah pandangan yang meredakan: tidak ada alasan kuat untuk meragukan dunia luar hanya karena kita mengalaminya melalui indera.
Russell, seperti seorang pemandu intelektual dan pemikiran, membawa kita kepada filsuf dari Plato hingga Hegel. Ia tidak hanya memperkenalkan, tetapi juga menempatkan mereka dalam sebuah narasi yang memperlihatkan bagaimana ide-ide mereka saling kait mengait dan mempengaruhi satu sama lain.
Russell membatasi diri pada masalah-masalah yang ia anggap bisa didekati dengan cara yang ‘positif dan konstruktif.’ Ia memilih untuk tidak terjebak dalam kritik yang hanya bersifat negatif. Dalam hal ini, ia menunjukkan bahwa filsafat, meski penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, tetap memberikan ruang untuk dialog dan pemikiran yang lebih dalam.
Dalam Bab pertama bukunya, dalam kata “Appearance and Reality,” kita diajak untuk merenungkan tentang dualitas antara apa yang tampak dan apa yang sejati. Meja—objek sepele yang sering kita abaikan—tiba-tiba menjadi panggung di mana drama antara persepsi dan realitas dimainkan. Apakah warna coklat meja itu ‘nyata’, atau hanyalah sebuah ilusi sensorik yang berubah-ubah tergantung pada cahaya dan sudut pandang? Filsuf berdebat, menawarkan pandangan yang kadang-kadang lebih membingungkan daripada menjelaskan. Ada yang mengatakan meja itu hanyalah ide dalam benak Tuhan; ada pula yang berpendapat bahwa meja itu adalah kumpulan partikel subatomik yang bergetar.
Namun, di tengah kebingungan ini, ada satu titik temu: keberadaan ‘meja yang sebenarnya,’ entah itu apa. Ini adalah titik di mana filsafat bertemu dengan kehidupan sehari-hari, mengajak kita untuk selalu meragukan apa yang kita anggap sebagai ‘kenyataan.’ Maka, meja itu, dalam keberagaman interpretasinya, menjadi simbol dari misteri yang selalu mengelilingi kita, bahkan dalam hal-hal yang paling sepele sekalipun. Di sinilah kekuatan filsafat: bukan memberikan jawaban yang pasti, tetapi membuat kita terus bertanya dan merenung, memperluas cakrawala pemikiran kita tentang dunia yang, ternyata, penuh dengan keajaiban dan ambiguitas.
Jadi, apa nilai filsafat jika ia tidak bisa memberikan jawaban yang pasti? Mungkin, jawabannya terletak pada kemampuannya untuk membuat kita terus bertanya, merenung, dan—yang paling penting—mengakui batas-batas pengetahuan kita sendiri.
Jadi, apa nilai filsafat jika ia tidak bisa memberikan jawaban yang pasti? Mungkin, jawabannya terletak pada kemampuannya untuk membuat kita terus bertanya, merenung, dan—yang paling penting—mengakui batas-batas pengetahuan kita sendiri.