Setiap pagi, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri dari balik gedung-gedung, tetapi kehidupan sudah bergerak cepat. Saya mengantar si bungsu ke sekolah, melewati simpang yang selalu macet di pagi hari. Di sana, sebuah panggung kehidupan terbentang, dan saya adalah penonton yang setia.
Di samping simpang itu, ada penjual bubur kacang hijau. Sebuah warung sederhana. Setelah mengantar si bungsu, saya memilih untuk ‘nongkrong’ di sana, menyeruput teh hangat sambil menikmati bubur kacang hijau yang lembut. Tapi, apa yang saya nikmati lebih dari itu adalah teater kehidupan yang terjadi di simpang tersebut.
Saya memvideokan simpang itu, dan dari lensa kamera handphone, karakter asli manusia bermunculan. Ada keserakahan; mobil mewah yang menerobos, seolah dunia ini miliknya sendiri. Ada yang bermental menerabas; motor-motor yang melaju kencang, mengejar waktu yang seolah tak pernah cukup. Ada yang sabar; menunggu giliran dengan tenang, wajahnya menunjukkan ketenangan meski di tengah kekacauan. Ada yang licik; memanfaatkan celah kecil untuk menerobos, seolah aturan adalah hal yang bisa ditawar. Ada yang sok berkuasa. Dan ada rakyat kecil dengan motor seadanya; mereka yang hanya ingin pulang atau pergi ke tempat kerja, hidupnya sederhana tetapi penuh perjuangan.
Semua ini saya rekam, tidak hanya dalam video tetapi juga dalam benak saya. Ini adalah potret kehidupan, sebuah mosaik dari berbagai karakter manusia. Di sini, di simpang ini, saya merenung tentang kompleksitas kehidupan. Saya menikmati ini semua sambil menyeruput teh dan mengunyah kacang hijau, merasa menjadi bagian dari sebuah dunia yang begitu beragam tetapi juga begitu sama: penuh dengan keinginan, harapan, dan kekecewaan.
Simpang ini, bagi saya, adalah sebuah metafora tentang Indonesia, tentang dunia, tentang kita semua. Di sini, di tengah kekacauan dan keindahan, kita menemukan diri kita. Dan mungkin, hanya mungkin, kita bisa belajar sesuatu tentang diri kita dan orang lain, sambil menikmati bubur kacang hijau yang hangat dan teh yang menyegarkan.