Di tengah-tengah hiruk-pikuk Yogyakarta, sebuah pilihan muncul di bawah cahaya matahari sore hari yang menyelimuti Jalan Malioboro. Di sebuah rumah makan soto ayam, saya duduk, merenungkan pilihan yang tampak sederhana namun sarat dengan implikasi etis: naik Grab atau becak motor?
Ah, Grab dan becak motor—dua simbol yang berdiri di dua kutub berbeda dari zaman dan kebudayaan, namun sama-sama mengisi ruang-ruang jalan raya Indonesia. Mereka adalah dua wajah dari sebuah koin yang bernama “transportasi,” tetapi aliran uang di balik mereka mengungkapkan banyak tentang struktur kekuasaan dan distribusi kekayaan di masyarakat kita.
Grab, dengan aplikasinya yang canggih, adalah simbol dari modernitas dan efisiensi. Namun, efisiensi ini adalah sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mempermudah kita—penumpang—untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan nyaman. Di sisi lain, ia adalah mesin penghisap uang yang sangat efisien, mengalirkan sebagian besar dari tarif yang kita bayar ke pusat kekuasaan korporasi.
Supir Grab, yang berjuang melawan kemacetan dan waktu, mendapatkan sejumput dari tarif yang kita bayar. Mereka adalah pekerja lepas yang harus menanggung biaya operasional—bensin, perawatan kendaraan, dan lain-lain—dari kantong mereka sendiri. Sementara itu, pemilik aplikasi Grab, yang berada di puncak piramida, mengumpulkan data, memonopoli pasar, dan terus mengakumulasi kekayaan.
Di sisi lain, ada becak motor—kendaraan yang menjadi simbol kehangatan dan kebersahajaan Indonesia. Ketika kita membayar tarif untuk sebuah perjalanan dengan becak motor, kita tahu bahwa uang tersebut akan langsung menjadi nafkah bagi tukang becak dan keluarganya. Tidak ada perantara, tidak ada aplikasi, tidak ada biaya tambahan yang tidak jelas. Uang mengalir langsung dari tangan ke tangan, dari hati ke hati.
Tukang becak, dengan wajahnya yang telah diukir oleh waktu dan matahari, adalah pilar dari ekonomi bawah. Mereka adalah simbol dari usaha keras dan ketekunan, dan uang yang kita berikan adalah investasi langsung dalam kesejahteraan mereka.
Jadi, kemana sebenarnya uang tersebut mengalir? Di Grab, uang mengalir ke atas, memperkaya mereka yang sudah kaya, sementara di becak motor, uang mengalir ke bawah, memberi kehidupan bagi mereka yang membutuhkannya. Pilihan antara Grab dan becak motor bukan hanya pilihan antara modernitas dan tradisi, tetapi juga antara dua model ekonomi yang sangat berbeda.
Kita, sebagai konsumen, memiliki kekuatan untuk memilih. Dan dalam setiap pilihan itu, kita juga memilih jenis masyarakat yang kita inginkan. Apakah kita ingin masyarakat yang lebih egaliter, ataukah kita memilih efisiensi yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang?
Yes, kekuatan pilihan—itu adalah kekuatan yang sebenarnya.
Saya memilih becak motor tanpa atap. Tanpa menawar, saya menerima tarif 50 ribu rupiah yang ditetapkan oleh tukang becak. Saya juga merekam perjalanan dari Malioboro ke hotel, sebuah video yang akan menjadi kenangan. Lebih dari itu, saya memberikan sedekah, sebuah tindakan kecil yang mungkin bisa memberikan kebahagiaan sesaat kepada tukang becak.
Apakah ini pilihan yang tepat? Entahlah. Dunia ini adalah sistem yang luar biasa kompleks, di mana setiap pilihan membawa konsekuensi yang tak terduga. Tapi hari ini, saya merasa gembira. Gembira karena bisa melihat kebahagiaan di wajah tukang becak, meski hanya sesaat. Alhamdulillah.