Profesor Topan

Duduk di sebuah kafe di Malioboro, di mana aroma kopi bertemu dengan kegaduhan turis dan penjaja seni, saya meresapi makna dari upacara pengukuhan profesor seorang teman.

Pagi tadi, di ruang auditorium UPN “Veteran” Yogyakarta, yang terdengar bukan hanya seloka pidato, tetapi juga desir angin perpaduan antara filsafat dan kehidupan. Profesor Herianto—atau, dalam suasana yang lebih akrab, Pak Topan—berdiri di panggung ilmu dan hidup, sebuah koreografi yang memaparkan pengalaman hidup yang berwarna.

Dia adalah seorang yang menghimpun dua dunia yang seringkali dipandang tak sejalur: teknik perminyakan dan filsafat. Sarjana, magister dan doktor teknik perminyakan, dan sarjana filsafat dari UGM. Mungkinkah ini anomali, atau justru kunci dari keremajaan pikirannya? Umur 64 tahun tampaknya hanya sebagai angka bagi beliau; sebuah poin dalam garis waktu yang membentang luas, penuh dengan pengalaman, tantangan, dan kebijaksanaan.

Pak Topan, begitu dia dikenal, memiliki senyum yang selalu menampakkan sisi filosofis dari kehidupan. Sebuah senyum yang bukan sekadar ekspresi, tetapi juga manifestasi dari filsafat yang dia anut. Apakah hidup ini tak lebih dari permainan belaka? Jika demikian, maka dia memainkannya dengan penuh humor dan santai.

Doktor dari ITB yang tak sempurna, PhD dari UTM yang panjang perjalanannya, semuanya adalah petunjuk bahwa dia memanggil keberanian dari ketidakpastian. Bahkan dalam grup WA, candanya memperlihatkan pemikiran yang mendalam, namun diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang ringan dan merakyat.

Selamat, Prof Topan! Anda telah menunjukkan kepada kita bahwa kebijaksanaan bukanlah milik satu disiplin ilmu saja, tetapi perpaduan dari berbagai aspek kehidupan. Anda adalah profesor, tetapi lebih dari itu, Anda adalah filosof yang bergerak di tengah kehidupan.