Hari ini, kraton Yogyakarta—tempat di mana waktu berhenti tapi tetap bergerak—mengajak saya dan sekeluarga untuk masuk ke dalam sejarahnya yang luas, seolah-olah kita semua adalah pelancong dalam sebuah zaman. Didirikan pada tahun 1756, kraton ini mengingatkan kita bahwa masa lalu tak pernah benar-benar lenyap; ia selalu ada, tersembunyi di balik simbol dan makna.
Di pintu masuk, gambar kepala penolak bala menyapa kita. Seolah mengajarkan bahwa ada kekuatan lebih besar yang melindungi kraton ini, dan mungkin juga kita yang masuk ke dalamnya. Dinding-dindingnya adalah sastra yang belum sepenuhnya dibaca; setiap kamar, setiap sudut, memiliki cerita yang hanya bisa diungkap oleh mereka yang memahami bahasanya.
Di antara kompleks seluas 18 hektar ini, tersembunyi sekitar 5000 abdi dalam—roh dari kesultanan yang tetap bersemangat, walaupun dunia di luar sana berubah dengan cepat. Kesetiaan mereka adalah filosofi yang hidup, sebuah pengabdian yang mengejutkan bagi saya yang tumbuh di tanah Minangkabau, di mana egalitarianisme menjadi ajaran utama.
Tapi mungkin inilah kekayaan Indonesia: sebuah mozaik dari berbagai filosofi, etos kerja, dan tradisi yang saling berdampingan dalam harmoni. Kraton Yogyakarta, dalam keseriusan dan keagungannya, adalah satu dari sekian banyak wajah Indonesia—sebuah perspektif unik yang menawarkan sesuatu yang berbeda, tetapi tetap berharga.
Begitulah, dalam keteduhan kraton ini, saya tersadar bahwa keanekaragaman itu indah, dan setiap keunikan memiliki keunggulan tersendiri yang berhak untuk dihormati dan dihargai. Di kraton ini, saya menemukan sebuah Indonesia yang lebih besar dari yang pernah saya kenal; sebuah tanah air yang mengajarkan saya untuk selalu melihat ke dalam dan ke luar, sekaligus.