Duduk di warung Soto Pak Min Klaten di Yogyakarta, aroma kaldu yang menggugah selera mengisi udara. Tiba-tiba, sebuah gitar sederhana dan suara yang lirih merayu perhatian. Seorang pengamen menghampiri, menyanyikan lagu-lagu yang tak asing di telinga. Di detik itu, dilema moral berkecamuk: memberi atau tidak memberi?
Menjadi sebuah paradoks, bukan? Di satu sisi, derasnya empati mendorong kita untuk memberikan sesuatu—dalam hal ini uang—kepada pengemis atau pengamen. Sepotong koin sebagai wujud kasih sayang, namun juga bisa jadi sebuah perangkap, menjadikan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketergantungan. Di sisi lain, ketidakpedulian kita yang terkesan kejam, ironisnya, bisa menjadi bentuk peduli yang lebih dalam, dengan mengajari mereka bahwa dunia ini tak selalu memberi apa yang kita inginkan hanya karena kita memintanya.
Akhirnya, saya memberikan 2000 rupiah. Apakah ini tindakan yang benar atau malah sebuah kesalahan? Saya tak bisa pastikan. Agama, seringkali, berbicara tentang bersedekah sebagai tindakan yang mulia. Tetapi, apakah bersedekah selalu harus berbentuk materi? Bukankah pengetahuan dan peluang bisa lebih berharga daripada uang tunai yang dengan cepat habis terpakai? Lagipula, tak semua bersedekah berujung pada kebaikan. Ada bersedekah yang meracuni, ada yang membebaskan.
Di tengah-tengah kebingungan moral ini, masing-masing dari kita harus membuat pilihan sendiri. Tak ada jawaban mutlak, hanya ada pertimbangan dan, tentu saja, konsekuensi. Jadi, sebelum kita merogoh kantong, mari kita pikirkan: Apa yang sesungguhnya kita berikan? Apakah kita memberikan jalan keluar atau justru jalan buntu?