Ada desas-desus di lorong-lorong kampung, sebagaimana lorong-lorong adalah panggung temporer bagi politik kecil—atau mungkin politik besar, tergantung pada sejauh mana mata kita terbuka. Karang Taruna, sebuah organisasi kemasyarakatan anak muda kampung yang biasanya tidak lebih dari wadah kegiatan ekstrakurikuler, telah menjadi kanvas berwarna-warni politik bawah tanah.
Pertama ada Raka, seorang pemuda yang telah memahami arti kepopuleran di dunia maya. Dengan senyumnya yang instagramable, dia menangkap mata dan perhatian, menjaring semuanya dalam satu klik kamera. Di belakangnya, ada orkestrasi kuasa lokal—orang berkuasa di kampung yang mengetuk pintu-pintu hati melalui influencer ini. Apa yang tampak adalah kulit, tetapi apa yang tersembunyi adalah daging penuh intrik.
Kedua, ada Bima, si ‘licik’—kata ini seolah melekat di setiap kalimat yang dilemparkannya. Dia seperti mimpi buruk bagi para pendebat, seorang yang bisa menjadikan perkataan “tidak” menjadi “ya”, atau setidaknya menjadi “mungkin”. Sebuah koridor kekuatan oportunis telah membangun benteng di sekitar Bima—mereka yang mengais rezeki di tengah ketidakpastian, yang menjadi oportunis karena didukung oleh oportunis lainnya.
Terakhir, ada Rani, yang jika dilihat dari luar tampak seperti pilar batu, teguh dan kokoh. Namun, di dalamnya ia seperti air, memenuhi bentuk apa pun yang diberikan kepadanya. Dia dielus dan diangkat oleh orang-orang yang fanatik kepada agama, tapi pada saat yang sama, dia berada di persimpangan antara fanatisme dan kepasrahan. Rani adalah paradoks dalam satu wajah, seolah memancarkan dua frekuensi yang berbeda dari satu inti.
Masing-masing dari mereka, dengan strategi yang tampak licik tapi juga mengagumkan dalam pelaksanaannya, berusaha saling menjatuhkan. Raka menggunakan media sosial sebagai pedangnya, menggiring opini; Bima melontarkan kata-kata yang sulit dipahami tetapi dalam kebingungannya itu memikat; sementara Rani mengedepankan tegas di luar, lembik di dalam—sebuah jebakan yang memikat bagi mereka yang mencari kejelasan dalam kerumitan.
Hari pemilihan datang, namun ternyata absurb. Mesin hitung suara tiba-tiba mogok, petugas pemilihan mundur, dan terjadi kebingungan massal yang mengundang tawa sekaligus air mata. Siapakah yang menang? Ah, pertanyaan itu terasa konyol. Di panggung politik yang absurb ini, siapa pun bisa mengaku menang, tetapi semua orang tahu bahwa yang benar-benar menang adalah ketidakpastian dan absurditas itu sendiri.
Panggung telah ditutup, tetapi noda-noda tinta pemilihan masih menempel di jari-jari kita—menjadi kenangan atau mungkin peringatan, bahwa politik, di mana pun ia berada, selalu lebih dari sekedar hitam dan putih. Ada abu-abu di situ, area yang tak pernah bisa kita pahami sepenuhnya, seolah membiarkan kita merenung dalam ironi: bahwa kita selalu tahu, namun pada saat yang sama, kita tidak pernah benar-benar tahu.
Dalam eksistensi manusia yang selalu dicari maknanya itu, filsafat absurd—terutama sebagaimana diartikulasikan oleh filsuf Prancis, Albert Camus—menjadi lensa yang menyingkap pelbagai paradoks dan ambiguitas. Dalam konteks politik yang penuh ketidakpastian dan konflik, filsafat absurd memberikan lensa untuk memahami paradoks dan ambiguitas yang ada. Bergejolak dalam ketidakpastian dan kekacauan dunia, jiwa manusia terus-menerus berupaya menggali esensi makna, keadilan, dan kebenaran. Sebuah upaya yang, bagaikan tragedi klasik, sering kali membawa ke dalam keadaan yang lebih absurd. Berbeda dari nihilisme, yang mengatakan bahwa kehidupan tidak memiliki makna, filsafat absurd memeluk gairah manusia dalam mencari tanda-tanda kebermaknaan. Nihilisme menginjak-injak harapan dengan pesimisme yang kelabu; sementara absurditas memberi ruang bagi keinginan, meskipun dalam kebingungannya. Adalah seolah-olah absurditas menjawab kegelapan dengan sebuah pertanyaan, bukan dengan putus asa.
Apakah absurditas politik ini akan membawa kita menjadi masyarakat yang maju? Itu adalah pertanyaaan lain.