Politik kasihan

Seni curhat dalam politik—sebuah fenomena yang menggelitik, namun sekaligus meresahkan. Seolah para aktor politik kini menjadi penulis memoar dadakan, menyajikan detil-detil tragis atau heroik dari kehidupan pribadi mereka. Semua itu diramu dan disajikan dalam piring publik, bukan sebagai sajian penutup, melainkan sebagai hidangan utama yang menggugah rasa empati. Tidak ada yang salah dengan empati, tetapi ketika empati bertransformasi menjadi alat dalam genggaman kekuasaan, kita perlu berjaga-jaga.

Di antara lipatan-lipatan kisah yang mengharukan itu, tersembunyi dinamika kekuasaan yang lebih kompleks. Kita, sebagai audiens dan juga sebagai subjek dari dinamika ini, hendaknya tak lupa bahwa dalam teater politik, setiap gestur, setiap kata, setiap air mata, memiliki bobot yang tak pernah netral. Mereka adalah bagian dari skenario yang ditulis tidak hanya oleh para aktor itu sendiri tetapi juga oleh situasi, sejarah, dan struktur kekuasaan yang lebih luas.

Kecerdasan kolektif masyarakat sekarang sedang diuji. Di satu sisi, ada dorongan untuk merespons kemanusiaan, tetapi di sisi lain, ada kebutuhan untuk melihat apa yang bersembunyi di balik layar, di antara baris-baris naskah, dalam setiap desahan dan isak tangis. Memang, kita terus berjalan dalam kekusutan ini—kadang terpesona, kadang skeptis, tetapi selalu, selalu dengan mata yang lebih terbuka dan hati yang semakin waspada.

Dalam permainan ini, kita semua adalah pion-pion yang bergerak di atas papan catur, tetapi kita juga adalah penonton yang mampu menilai, merespons, dan pada akhirnya, mungkin, mengubah arah permainan. Ah, betapa kompleksnya panggung ini, tetapi juga betapa pentingnya kita memahami setiap jengkalnya.

“Politik Kasihan”—dua kata yang terasa kontradiktif dan harmonis dalam satu napas. Kasihan adalah naluri, perasaan yang muncul dari lubuk hati paling dalam. Sementara itu, politik seringkali dianggap sebagai arena tempat emosi dipertaruhkan demi sesuatu yang lebih pragmatis: kekuasaan. Kedua elemen ini—rasa kasihan dan politik—sekarang sering disandingkan dalam satu panggung yang sama. Sebuah fusi yang melahirkan sesuatu yang mengejutkan, dan mungkin juga menyesatkan.

Dalam situasi yang membingungkan—yang di dalamnya ada janji, ancaman, dan kata-kata puitis—politik berkaitan erat dengan kekuasaan. Kekuasaan: sebuah kata yang membawa nada berat, seperti gema di lorong bawah tanah. Di sekitar kata ini, ada permainan yang tak pernah putus: sebuah pertunjukan yang disutradarai oleh para aktor yang penuh strategi dan taktik menyikut, semua dilakukan demi panggung terbesar, yaitu kekuasaan.

Tapi, seperti dalam setiap pertunjukan, ada juga kemungkinan pengaruh lainnya yang sulit diprediksi: empati. Ada penari-penari yang bergerak lincah, tidak hanya memakai topeng-topeng licik, tetapi juga merentangkan lengan dengan pose yang memohon kasihan. Mereka memilih untuk curhat, mengeluarkan untaian kata yang penuh kepedihan, kegagalan, dan perjuangan—sebuah strategi untuk meraih simpati dari mereka yang disikut. Pernahkah ini berhasil? Tentu. Ada babak dalam sejarah di mana tragedi pribadi menjadi pembenaran untuk tindakan politik yang lebih besar, di mana air mata menjadi senjata.

Namun, berhati-hatilah. Tak seorang pun dapat menipu sepanjang waktu; orang-orang mulai menyadari. Mereka belajar dari masa lalu, dari peristiwa di mana mereka terperangkap dalam jalinan kata-kata yang mempesona namun menyesatkan. Pada akhirnya, hukum alam membalas: sikut dan disikut. Menjadi korban tipu muslihat semacam itu seringkali menjadi pelajaran yang mahal, tetapi pelajaran itu kadang-kadang diperlukan untuk memahami mekanisme politik dan kekuasaan itu sendiri.

Apakah ini artinya orang-orang kini lebih tahan terhadap trik-trik penuh belas kasihan? Mungkin, tapi juga mungkin tidak. Kita adalah makhluk yang kompleks. Kadang-kadang kita terpesona oleh yang autentik, tetapi kadang-kadang kita juga terbuai oleh mimpi-mimpi dan janji. Yang pasti, dalam politik—di mana uang dan kekuasaan menjadi puncak piramida yang dikejar—kejujuran adalah mata uang yang langka.

Dalam dunia kekuasaan ini, di mana setiap tetes air adalah perjuangan dan setiap butir pasir adalah intrik, kebenaran seringkali terkubur dalam hamparan yang luas. Tapi meski kita terus disikut dan menyikut, kita tetap berjalan, bergerak maju dengan harapan-harapan dan kekecewaan-kekecewaan yang kita bawa. Ini adalah perjalanan kita, sebuah perjalanan panjang tanpa akhir di dunia politik. Kita merangkak, berdiri, jatuh, dan bangkit lagi—selalu dengan mata yang terbuka lebih lebar, menatap ke arah yang kita tuju, namun selalu waspada terhadap apa yang bersembunyi di balik pasir dan mimpi.