Saya banyak mengikuti grup WhatsApp. Saya pengamat dan sekaligus pegiat. Sering berpartisipasi dengan komentar lucu, serius, iseng, dan lain-lain. Saya sadar, saya juga pengamat yang juga diamati. Ada sebuah cerita. Ini kisah si Fajar seorang yang saya jadikan refleksi mengenai fenomena pencarian identitas di media sosial.
Fajar hanya sebuah bayangan yang berkelana, mencari tempat untuk menancapkan identitasnya, termasuk di grup WhatApp. Dalam setiap bisikan angin, dia menyanyikan lagu tentang kebesaran diri, meski dalam diam, langit tahu kebenarannya.
Bertaburkan cerita, Fajar mencoba menggambar siluetnya di langit, mengharap bintang-bintang turut memujinya. Namun, apa gunanya bila bintang-bintang hanya menyaksikan lukisan tanpa jiwa? Mereka melihat, tapi tidak mengingat.
Di era dimana setiap detik, bayang-bayang mencoba berlomba menunjukkan eksistensinya melalui cermin-cermin digital, Fajar bukanlah satu-satunya. Dunia media sosial telah menjadi pentas, di mana semua berusaha menampilkan versi terbaik mereka, meski kadang hanya ilusi.
Bukankah Fajar mirip dengan kita? Mencari validasi dalam setiap like dan komentar, namun seringkali melupakan esensi diri. Di balik cerita dan anekdot yang dibagikannya, ada hati yang bergetar, meminta untuk dilihat dalam kesederhanaan dan keasliannya.
Begitulah Fajar. Bukankah lebih indah jika kilau yang kita tampilkan adalah kilau dari dalam, yang tulus dan murni? Bukankah lebih mempesona jika kita bisa berdiri dengan kepala tegak, tanpa perlu menutupi kekurangan dengan cerita-cerita kosong?
Dalam dunia yang semakin puitik, semoga kita semua dapat menemukan esensi diri kita dan membagikannya dengan tulus, tanpa terjebak dalam bayang-bayang ego yang kadang membutakan.