Pagi tadi, langit membuka tirainya dengan cerah. Udara segar berbisik, mengajak saya dan istri berburu sarapan di Warung pecel Bu Retno di Jl. Raya Langsep, Malang. Kami memilih naik motor, membiarkan angin pagi menerpa kami. Namun, ketika tujuan hampir tercapai, kesunyian pagi tiba-tiba terbelah oleh suara klakson. Dua mobil, bagai dua pembalap jalanan, berkejaran dalam irama cepat. Klakson yang terus menderu, mungkin sebuah peringatan, atau ekspresi dari hati yang terjepit.
Detik itu juga, jantung saya berdetak lebih cepat, terkejut oleh drama pagi yang tak terduga. Namun, tukang parkir yang biasa berdiri dengan gagahnya tampak tak terpengaruh. Dengan tawa ringan, dia mendekat, “Sabar, Pak. Manusia memang begitu Pak.”
Kata-kata sederhana itu, bagai tetes embun di pagi hari, memberi kesegaran di tengah kekagetan. Mungkin, di balik hiruk pikuk kota, kita memang perlu diingatkan untuk menari bersama kejutan-kejutan kehidupan.
Saya teringat, dalam perjalanan mencari hikmah, bahwa tawa adalah jendela untuk melihat dunia. Bukan tawa sembarangan, melainkan tawa yang lahir dari pemahaman akan ironi kehidupan. Orang bijak melihat dunia bukan hanya sebagai panggung, melainkan sebagai lukisan yang penuh warna.
Dunia, dengan semua kilauannya, sering menawarkan realitas yang tak sesuai dengan harapan. Namun, bukankah kebijaksanaan sejati terletak pada bagaimana kita meresponnya? Orang bijak, dengan senyum yang tenang, akan tertawa. Tawa yang penuh makna, yang mengerti bahwa dunia ini adalah kekompleksan yang perlu disadari.
Sedangkan mereka yang belum menemukan hikmahnya, dengan mudahnya terjebak dalam kemarahan. Namun, bukankah kebijaksanaan sejati adalah ketika kita mampu melihat dunia dengan mata hati?
Dalam kesunyian, orang bijak tahu bahwa dunia ini bukan sekadar hitam dan putih. Mereka mengerti bahwa kejutan adalah bagian dari tarian kehidupan. Dan dalam setiap gerak, tergambar jelas siapa yang benar-benar mengerti tarian itu.
Jadi, kebijaksanaan bukanlah tentang menghindari badai, melainkan tentang bagaimana kita menari di tengah hujan. Saya masih perlu banyak belajar. Sungguh.