Dalam kesibukan mengurus administrasi dan birokrasi dalam dunia pendidikan dan riset ilmiah, kita pun tidak sempat duduk merenung. Kita sering terjebak dalam pusaran informasi yang tak berujung, lupa pada esensi dari apa yang kita cari: makna. Pendidikan, yang seharusnya menjadi kompas bagi jiwa kita, kini sering kali hanya menjadi alat untuk mengukur kecerdasan tanpa menyentuh kedalaman hati. Namun, jika kita merenung sejenak, bukankah pendidikan sejatinya adalah pencarian makna?
Saya teringat akan sebuah konsep: bahwa berpikir dan bertindak tak dapat dipisahkan dari kerangka hati kita. Berpikir adalah gerakan jiwa menuju makna. Lantas, bagaimana dengan riset ilmiah? Bukankah riset juga seharusnya didasari oleh hati, bukan sekadar akal?
Mari kita melihat dunia dengan mata hati. Bayangkan jika kita menulis dan melakukan riset dengan pendekatan seperti itu. Riset bukan lagi sekadar mencari data dan fakta, melainkan mencari makna di balik setiap fenomena. Menulis bukan lagi sekadar menyusun kata, melainkan menyusun rasa dan pemikiran yang bersumber dari hati.
Mari kita untuk melihat dunia dengan mata hati. Bayangkan jika kita menulis dan melakukan riset dengan pendekatan seperti itu. Riset bukan lagi sekadar mencari data dan fakta, melainkan mencari makna di balik setiap fenomena. Menulis bukan lagi sekadar menyusun kata, melainkan menyusun rasa dan pemikiran yang bersumber dari hati. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Islamisasi pengetahuan.
Oleh karena itu, marilah kita mulai revolusi dalam pendidikan dan riset. Ini bukanlah revolusi yang bersifat fisik, tapi revolusi hati — sebuah perjalanan untuk mencari makna, untuk memahami dunia dengan lebih dalam, dan untuk menulis serta melakukan riset dengan hati. Sebab, hanya dengan hati, kita dapat mencapai kebenaran yang hakiki.