Mungkin karena tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik, saya gatal menulis mengenai bagaimana kita menempatkan diri dalam perpolitikan. Jadi pengamat, peneliti, pelengkap penderita, atau pemain dalam percaturan politik?
Kita sering terjebak dalam anggapan bahwa hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk berorganisasi dalam kerumitan sosial. Namun, di awal milenium, tepatnya tahun 2001, Frans de Waal menghadirkan sebuah karya yang menggugah. Dari kebun binatang Arnhem di negeri kincir angin, Belanda, ia memperkenalkan kita pada sekelompok simpanse yang tak sekadar bermain dan bersantai. Melalui mata peneliti yang tajam, de Waal menangkap ritual-ritual yang begitu kompleks dan penuh nuansa. Bukan sembarang ritual, melainkan sebuah tarian politik yang tersembunyi di balik gerak-gerik simpanse. Sebuah pertunjukan yang, menurut de Waal, menyerupai organisasi politik yang kita kenal. Dan mungkin, di balik itu semua, kita diajak untuk merenung: Apakah kita, dengan segala kecanggihan pikiran kita, benar-benar berbeda?
Politik simpanse
Di sana, simpanse bernama Amos, yang dinamakan oleh Frans de Waal dalam penelitiannya, sang alpha male, memerintah dengan keanggunan dan kebijaksanaan. Namun, takdir memutuskan lain; Amos jatuh sakit dan kehilangan tahtanya. Namun, bukankah politik sejati adalah tentang hubungan dan rasa hormat? Meski Amos kehilangan gelar, ia tetap mendapatkan kasih sayang dan perawatan dari rekan-rekannya.
Kita sering salah paham, mengira bahwa menjadi “alpha male” berarti menjadi kasar dan dominan. Namun, di alam simpanse, menjadi alpha bukanlah tentang kekuasaan semata, melainkan tentang kepemimpinan, tanggung jawab, dan empati. Mereka, dengan bahasa tubuh yang khas, menunjukkan dominasi sekaligus kepatuhan, mencerminkan perilaku manusia dalam banyak hal.
Namun, menjadi pemimpin tak pernah mudah. Dibalik keuntungan mendapatkan pasangan, ada beban untuk selalu waspada, menjaga perdamaian, dan menjadi penengah dalam konflik. Dan di sini, tak hanya alpha male yang berperan. Alpha females, dengan kebijaksanaan dan kekuatannya, juga memegang peran penting dalam masyarakat simpanse. Bahkan, di dunia bonobo, matriarki memerintah.
Kita, sebagai manusia, sering terjebak dalam definisi sempit tentang kekuasaan dan dominasi. Namun, jika kita melihat ke alam, kita akan menyadari bahwa sejati dari sebuah “alpha” bukanlah kekuatan fisik semata, melainkan kebijaksanaan, empati, dan kemampuan untuk memimpin dengan hati. Sebuah pelajaran berharga dari hutan untuk kita semua.
Politik manusia
Dalam dinamika politik Indonesia, para aktornya tak ubahnya simpanse-simpanse di kebun binatang Arnhem yang diperhatikan oleh Frans de Waal. Betul sekali, tak ada bedanya! Mereka beraksi, bersekongkol, bertikai, dan berdamai, persis simpanse yang saling membersihkan bulu atau membentuk aliansi. Mereka bermain dalam kekuasaan, mengidamkan pengakuan, dan seringkali melupakan hakikat diri mereka.
Amatilah tindak tanduk mereka: saling berebut kekuasaan, berkoalisi demi ambisi pribadi, dan bertengkar hanya demi sejumput pengakuan. Bukankah itu mirip dengan simpanse yang berebutan makanan atau posisi tidur terbaik di kebun binatang?
Maka, tak mengherankan jika banyak di antara kita melihat panggung politik bagai “kebun binatang” yang dipenuhi oleh simpanse berjas dan dasi. Sebab pada intinya, apa yang mereka peragakan di panggung politik tak lebih mulia dari perilaku simpanse di kebun binatang Arnhem.
Oleh karena itu, dengan memandang dari sudut pandang seorang peneliti yang objektif, dengan memisahkan diri kita dari drama politik, kita bisa menyadari bahwa politik bukanlah domain eksklusif manusia. Ini adalah refleksi dari naluri dasar kita sebagai makhluk sosial. Dengan pemahaman ini, kita mungkin bisa menavigasi kerumitan dunia politik dengan lebih cerdas dan bijaksana. Mungkin saja.
Pemimpin kita
Amos, sang simpanse yang memerintah, menjadi lambang kebijaksanaan dan keanggunan. Namun, tak selamanya takhta itu miliknya. Ketika takdir berbicara, Amos harus merelakan gelarnya. Namun, apa arti sebuah gelar jika tanpa rasa hormat dan hubungan yang tulus?
Kita, manusia, seringkali terjebak dalam definisi “alpha” yang sempit, mengasosiasikannya dengan dominasi dan kekerasan. Namun, alam memberi tahu kita bahwa esensi sejati dari kepemimpinan bukanlah dominasi, melainkan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan empati. Sebuah pemimpin sejati bukanlah mereka yang hanya memerintah dengan kekuatan, melainkan mereka yang mampu membangun hubungan, menjaga harmoni, dan menjadi pelindung bagi yang lemah.
Dalam lorong-lorong kekuasaan, entah itu di dunia simpanse atau di antara kita, manusia, terselip syarat-syarat tak terkatakan yang mengukuhkan seorang sebagai pemimpin. Bukan semata-mata keperkasaan otot yang menjadi tolak ukur, melainkan kedalaman jiwa, keberanian untuk berdiri teguh di sisi kebenaran, serta kemampuan untuk meresapi dan memahami getar-getar hati orang lain. Di tengah keramaian zaman yang tak kenal henti, barangkali kita perlu mencuri sejenak waktu, menengadah ke hutan, dan merenung mendalam tentang hakikat sejati kepemimpinan.