Dalam zaman media sosia ini, kita berjalan menyusuri koridor-koridor informasi, terkadang tersesat dalam deretan kabar dan gambar yang tak henti mengalir deras di layar kecil di genggaman. Di era yang sering dijuluki sebagai zaman “post-truth”, kita dihadapkan pada dilema besar: bagaimana membedakan antara kebenaran dan kebohongan dalam lautan informasi yang tak terbatas?
Ketika kebohongan diulang-ulang, ia membangun sebuah realitas baru, sebuah hyperrealitas, di mana garis antara autentisitas dan fabrikasi menjadi semakin kabur. Kita, sebagai konsumen informasi, seringkali terjebak dalam jaringan narasi yang terbangun atas dasar repetisi dan dramatisasi, bukan atas dasar fakta dan data.
Detachment, atau detoksifikasi sosial media, muncul sebagai sebuah konsep yang mungkin bisa kita pertimbangkan dalam menjawab dilema tersebut. Bukan berarti kita harus meninggalkan media sosial sepenuhnya, namun lebih kepada bagaimana kita bisa menjaga jarak, memilah dan memilih informasi yang kita konsumsi dengan lebih bijaksana.
Kita mungkin perlu mengambil langkah mundur, memberi ruang bagi diri kita untuk merenung dan meresapi setiap butir informasi yang masuk, sebelum membiarkannya meresap ke dalam kesadaran kita. Kita perlu mempertanyakan, meragukan, dan terus mencari, bukan sekadar menerima apa adanya.
Dengan demikian, kita bukan hanya sekadar konsumen informasi, melainkan juga menjadi penjaga kebenaran itu sendiri. Kita menjadi entitas yang mampu menyaring, memilah, dan pada akhirnya, membangun realitas kita sendiri yang terhindar dari polusi informasi dan manipulasi naratif.
Detachment dari media sosial bukanlah sebuah pelarian, melainkan sebuah bentuk resistensi, sebuah upaya untuk menjaga agar kita tidak tenggelam dalam arus informasi yang bisa jadi mengaburkan persepsi kita terhadap realitas. Ini adalah langkah untuk menjaga keutuhan diri, agar kita tidak terpecah oleh deretan kabar yang bisa jadi tak lebih dari sekadar hantu-hantu digital yang berusaha merasuki kesadaran kita.
Dalam konteks ini, kita bukan hanya melawan kebohongan, melainkan juga melawan lupa – lupa bahwa kita memiliki hak untuk memilih, untuk tidak terpengaruh, dan untuk tetap berdiri teguh di tengah gempuran informasi yang tak kenal henti. Kita berhak untuk tidak terbuai, untuk tetap terjaga, dan untuk melihat dunia dengan mata yang jernih, tak terpengaruh oleh gemerlap layar yang mencoba memikat kita ke dalam pusaran tanpa akhir.
Dan di sinilah, dalam ketenangan dan kejernihan pandangan itulah, kita mungkin akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.
Detoksifikasi pikiran dan jiwa
Detoksifikasi media sosial bukan hanya soal menghindari informasi yang salah, tetapi juga tentang bagaimana kita menyaring dan memproses informasi yang kita terima. Adalah penting untuk merenungkan: Apakah kita cukup kritis terhadap informasi yang kita baca? Apakah kita telah cukup bijaksana untuk tidak terpengaruh oleh emosi kolektif yang seringkali muncul di media sosial?
Di era post-truth, di mana fakta dan opini seringkali menjadi kabur, mengajak untuk selalu mencari kebenaran, meski itu berarti harus melawan arus. Mencari kebenaran adalah sebuah perjalanan yang sulit, namun selalu ada nilai dan makna yang bisa kita temukan di dalamnya.
Kita perlu merenung dan bertindak. Detoksifikasi media sosial bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga kolektif. Kita perlu bersama-sama menciptakan ruang di media sosial yang sehat dan mendukung pertukaran ide yang konstruktif.