Dalam kehidupan yang penuh tanda tanya ini, “jalan kematian” menjadi sebuah metafora yang mengajak kita merenung dalam-dalam. Bukan kematian yang kita kenal, yang mengakhiri napas dan denyut nadi, melainkan sebuah ‘kematian’ terhadap hiruk-pikuk duniawi yang seringkali membelenggu.
Ketika roh memasuki raga, indera manusia bergerak dalam harmoni, menciptakan simfoni kehidupan. Ada misi, ada tujuan, ada sebuah pencarian makna. Kesempurnaan? Mungkin itu jalan kembali kepada-Nya, sebuah perjalanan yang penuh makna.
“Jalan kematian” bisa diartikan sebagai fase di mana seseorang telah lepas dari belenggu pengaruh luar. Sebuah fase di mana kesadaran telah mencapai puncaknya, bebas dari gangguan. Bukan kematian yang kita tahu, melainkan ‘kematian’ terhadap segala yang bersifat duniawi.
Hanya mereka yang telah bebas dari belenggu ini yang dapat mencapai kesempurnaan spiritual. Jika masih terikat, maka jalan yang ditempuh akan membawa kembali kepada belenggu tersebut. Kesadaran dan pencerahan, dua kata kunci untuk mencapai ‘jalan kematian’ yang positif ini.
Semua ini, tentu saja, bukan untuk diartikan secara harfiah. Mungkin ini adalah perjalanan spiritual, meninggalkan segala yang bersifat duniawi, menuju ke sebuah kesadaran yang lebih tinggi. Sebuah keadaan di mana seseorang telah mencapai puncak kesadaran spiritual, tak lagi terpengaruh oleh apapun, dan bergerak menuju tujuan yang lebih agung.
Jadi, “jalan kematian” bukanlah akhir, melainkan sebuah awal. Awal dari perjalanan spiritual menuju kesempurnaan, menuju keutuhan jiwa. Sebuah perjalanan meninggalkan segala hiruk-pikuk duniawi, menuju pencerahan dan kesadaran spiritual yang lebih dalam, mencapai keadaan bersatu dengan kebenaran tertinggi.