Di tengah gemuruh dan hiruk pikuk dunia pendidikan, saya merasakan diri ini terombang-ambing, terhempas antara dua dunia yang berbeda: Indonesia dan Malaysia. Dua negara yang tumbuh dari akar yang sama, namun berjalan di jalur pendidikan yang berbeda. Lebih dari dua puluh tahun saya mengajar di universitas di Malaysia, dan hampir satu setengah tahun di Indonesia, memberikan saya kacamata untuk melihat lebih dalam, untuk merenung dan meresapi.
Di Malaysia, pendidikan tinggi bagaikan orkestra yang memainkan simfoni dengan penuh semangat dan keanggunan. Universitas-universitasnya seperti biola yang mengalun indah, memainkan melodi kemajuan dan inovasi dengan nada yang merdu. Sistemnya yang terdesentralisasi memberikan kebebasan bagi setiap institusi untuk menari mengikuti irama mereka sendiri, menciptakan harmoni dalam keragaman. Namun, dalam keindahan simfoni ini, tersembunyi pertanyaan kritis dan refleksi: Apakah semua nada telah dimainkan dengan benar? Apakah kebebasan ini telah memberikan ruang bagi setiap suara untuk didengar? Kita berbicara tentang kualitas, tetapi apakah kita juga berbicara tentang kesetaraan? Di sini, kata-kata puitis tersembunyi di balik tirai kebijaksanaan, menari-nari, mengajak kita untuk merenung lebih dalam.
Sementara itu, di Indonesia, pendidikan tinggi adalah pohon yang akarnya merasuk dalam-dalam ke dalam tanah budaya dan tradisi, tumbuh dengan kekuatan dan ketabahan. Pohon ini tumbuh di tengah hutan belantara, di mana setiap daunnya adalah cerita, dan setiap akarnya adalah warisan. Pendidikan di sini mungkin terlihat seperti pohon yang kurang subur, dengan cabang-cabangnya yang belum sepenuhnya mekar. Namun, jangan salah, karena akar-akarnya kuat dan dalam, membentang jauh ke dalam tanah kehidupan. Pendidikan tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga di dalam rumah, di dalam masyarakat, di dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata puitis teranyam dalam kehidupan sehari-hari, membentuk jiwa dan karakter, menari-nari dalam setiap hembusan angin dan desir daun.
Dan di sinilah kita menemukan ironi yang menarik dan penuh makna. Di Malaysia, di mana sistem pendidikan tampak lebih maju, lulusannya terkadang kehilangan jejak nilai-nilai, terombang-ambing dalam lautan pengetahuan tanpa kompas moral. Mereka terdidik, ya, tetapi apakah mereka juga berbudi? Di Indonesia, meskipun sistem pendidikannya dianggap kurang, lulusannya membawa nilai-nilai yang terpatri dalam jiwa, terukir dalam setiap langkah dan tindakan. Kata-kata puitis terukir dalam perilaku dan tindakan, menari-nari dalam setiap sudut kehidupan.
Mungkin, pada akhirnya, kita perlu belajar dari kedua dunia ini, menemukan jalan tengah antara kebebasan dan nilai-nilai. Dari Malaysia, kita belajar tentang pentingnya kualitas dan kebebasan dalam pendidikan. Dari Indonesia, kita belajar tentang pentingnya nilai dan akar budaya. Kita berada di persimpangan jalan, di antara dua dunia, dan tugas kita adalah menemukan harmoni dalam divergensi ini. Kita harus menari dengan irama kita sendiri, tetapi juga tidak lupa untuk mendengarkan suara-suara yang berasal dari akar kita. Karena, pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang ilmu yang kita pelajari, tetapi juga tentang manusia yang kita jadikan. Kata-kata puitis terjalin dalam esensi pendidikan, membimbing kita menuju kebijaksanaan dan kebenaran, menari-nari dalam simfoni kehidupan.