Saya sadar, politik kampus adalah serangkaian proses dan aktivitas yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam lingkungan kampus. Proses ini sudah barang tentu melibatkan interaksi, perdebatan, dan terkadang persaingan antara berbagai pihak yang terlibat, termasuk dosen, peneliti, staf administratif, mahasiswa, dan pihak-pihak eksternal seperti pemerintah atau sponsor.
Nah, di tengah hiruk pikuk kehidupan kampus ini, politik kekuasaan yang diperankan oleh staf akademik serupa dengan aliran sungai yang tak terlihat, namun keberadaannya tak dapat dipungkiri dan terelakkan. Ia mengalir, membawa serta berbagai elemen, baik yang memberi kehidupan maupun yang mampu merubah bentang alam.
Dalam proses mencari kekuasaan ini, staf akademik bukan hanya sekadar pengajar atau peneliti; mereka adalah pemain dalam orkestra kehidupan kampus yang kompleks, apalagi di universitas yang besar populasinya. Mereka bergerak, terkadang dengan lembut dan terkadang dengan penuh gairah, membentuk pola-pola yang tak selalu mudah untuk dipahami.
Politik kekuasaan, dalam konteks ini, bukanlah entitas yang hitam putih, tetapi sangat berwarna yang mempunyai spektrum warna yang luas, di mana setiap individu memainkan peranannya, terkadang dengan niat yang tulus untuk perubahan dan reformasi, dan terkadang dengan dorongan untuk kepentingan pribadi. Ada juga yang cuek dan ada juga yang lihai bermain.
Di satu sisi, posisi yang positif, politik kekuasaan dapat menjadi alat untuk advokasi dan transformasi. Ia mampu membangkitkan kesadaran, mendorong diskusi, dan memicu perubahan. Staf akademik, dengan pengalaman dan pengetahuannya, seharusnya memiliki kapasitas untuk menjadi intelektual, membawa isu-isu penting ke permukaan dan mendorong komunitas kampus untuk bergerak menuju arah yang lebih baik.
Namun, di sisi lain, disisi negatif, politik kekuasaan dapat menciptakan bayang-bayang yang gelap, menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi. Ia dapat menghambat kreativitas dan inovasi, menciptakan lingkungan yang penuh kecurigaan. Lingkungan yang tidak kondusif secara akademik.
Dalam situasi ini, adalah penting untuk mempertahankan keseimbangan, untuk mengakui bahwa politik kekuasaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kampus, namun juga untuk terus berusaha memastikan bahwa ia tidak mengalahkan tujuan utama pendidikan dan penelitian, dan juga etika akademis.
Kita harus berjalan di atas tali, dengan hati-hati dan penuh perhatian, memahami bahwa setiap langkah yang kita ambil membawa konsekuensi, dan bahwa tanggung jawab kita adalah untuk memastikan bahwa konsekuensi tersebut membawa kita menuju cahaya, bukan ke dalam kegelapan.
Dengan demikian, politik kekuasaan di kampus, dalam segala kompleksitas dan paradoksnya, menjadi sebuah cermin yang mencerminkan realitas kehidupan kita, sebuah panggung di mana drama kemanusiaan dipertunjukkan, dan sebuah pelajaran tentang bagaimana kita, sebagai bagian dari komunitas akademik, dapat berkontribusi terhadap pembentukan dunia yang lebih adil dan berpengetahuan. Dunia yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan lupa ini.