Dalam hiruk pikuk dunia akademis yang penuh dengan pencarian ilmu dan kejaran prestasi semu, seringkali kita terjebak dalam pusaran kompetisi yang tak kenal ampun, yang seringkali kehilangan makna. Di sini, di ruang-ruang kelas dan laboratorium, di perpustakaan-perpustakaan yang sunyi, kita berlomba, berusaha menunjukkan yang terbaik, seringkali tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang terabaikan.
Di grup WA guru besar Universitas Negeri Malang (UM), saya sengaja mengirimkan buku karya Edward Shils yang berjudul ‘Etika Akademis‘ (yang boleh dibaca dari Google Drive ini) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diberi pengantar oleh Parsudi Suparlan. Buku lama yang sudah menguning ini telah saya bawa merantau lebih dari 20 tahun. Etika akademis, sebuah pilar penting yang seharusnya menjadi fondasi dalam dunia pendidikan, terkadang terpinggirkan dan dilupakan karena dunia pendidikan yang yang terbelenggu dengan sistem yang tidak mendorong etika akademis. Kita lupa bahwa ilmu yang kita kejar bukan hanya untuk pamer kecerdasan, pamer kehebatan, pamer prestasi semu atau untuk meraih gelar. Ilmu adalah amanah, dan dengan itu, kita memiliki tanggung jawab untuk menggunakannya dengan bijak dan bertanggung jawab.
Namun, dalam dunia yang serba cepat dan terbuka ini, di mana segalanya diukur dengan hasil dan pencapaian, etika akademis seringkali tergeser dan diletakkan ke sudut ruangan tanpa pernah dilihat. Plagiarisme, membuat riset abal-abal, kecurangan, menukangi data untuk pemeringkatan, akal bulus dalam membuat publikasi ilmiah, dan ketidakjujuran lainnya menjadi isu yang sering terdengar, adalah hal yang sering terdengar dan terlihat jelas di dunia akademis yang seharusnya suci dan penuh integritas.
Di tengah semua ini, mengingat hakikat pendidikan dan kembali kepada hakikat tersebut adalah penting. Ki Hajar Dewantara, sebagai pelopor dan tokoh pendidikan di Indonesia, memandang pendidikan sebagai alat pembebasan yang esensial, bertujuan untuk mengembangkan potensi unik setiap individu dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan sosial yang bertanggung jawab. Beliau menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang demokratis, di mana guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator, bukan penguasa. Pendidikan, menurut beliau, harus berakar pada budaya lokal dan nasional, mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan keterampilan hidup, sehingga membentuk warga negara yang baik dan berkontribusi positif terhadap masyarakat dan bangsa.
Dengan mengingat hakikat pendidikan, kita diajak untuk merenung, “Untuk apa semua ilmu ini jika tidak digunakan dengan benar? Untuk apa semua pencapaian ini jika tidak dibarengi dengan integritas?” Mengingat hakikat pendidikan mengajak kita untuk kembali pada esensi sejati pendidikan, yaitu pembentukan karakter dan integritas, bukan sekadar pengejaran prestasi semata. Apalagi prestasi semu yang dibungkus dengan angka-angka yang kehilangan makna.
Jadi, dalam dunia akademis yang penuh tantangan ini, mari kita jadikan etika akademis sebagai kompas yang mengarahkan kita. Mari kita ingat bahwa ilmu adalah amanah, dan kita memiliki tanggung jawab untuk menggunakannya dengan bijak dan bertanggung jawab. Dan di atas segalanya, mari kita ingat hakikat pendidikan, sebagai pengingat bahwa yang abadi hanyalah amal perbuatan dan integritas kita.
Dengan demikian, kita akan hidup dengan lebih bermakna, lebih bijaksana, dan tentunya, lebih manusiawi. Sudah tentu. Tapi darimana kita memulai untuk mengubah ini? Apakah dari diri sendiri yang terbelenggu ini? Pikirkan dan renungkan.