Setelah melihat beberapa kasus yang diadili oleh pengadilan di Indonesia terlihat bahwa keadilan mempunyai urgensi, berbisik dengan mendesak. Tata kelola pengadilan terluka. Etika juga layu di tepi waktu. Kekurangan-kekurangan ini, bagai bayang-bayang, mengancam kepercayaan, kepercayaan pada sang penjaga hukum.
Proses pengambilan keputusan dan administrasi peradilan, keduanya menari dalam ketidakpastian. Transparansi dan konsistensi, dua pilar yang kini goyah, membutuhkan sentuhan, perbaikan, dan penguatan. Lambatnya penanganan kasus bagaikan luka yang membutuhkan obat. Perlu respons yang cepat dan tepat yang menjadi kunci untuk memulihkan dan membangun kembali kepercayaan publik.
Etika, nilai-nilai luhur, kini seakan-akan terlupakan. Pengaruh dan hubungan kekerabatan, semuanya bercampur aduk. Hakim dan staf pengadilan, mereka yang seharusnya berdiri tegak dan berjalan lurus, kini harus mengingat kembali janji-janji luhur yang pernah mereka ucapkan. Budaya etika yang kokoh adalah hal yang sangat dibutuhkan. Ini penting untuk membangun integritas dan kredibilitas pengadilan kita.
Transparansi dan akuntabilitas, adalah dua kata yang harus dijunjung tinggi. Sistem pengadilan harus terbuka dan siap bertanggung jawab. Masyarakat perlu percaya dan yakin pada sistem peradilan mereka. Komentar-komentar yang saya dengar dari teman-teman menguatkan pendapat ini.
Dan di sini, di titik ini, permasalahan utama harus diperbaiki. Kepercayaan publik, itulah yang dipertaruhkan. Lembaga peradilan harus kuat, transparan, dan berintegritas. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun fondasi yang kokoh untuk penegakan hukum dan keadilan di masyarakat. Hanya dengan begitu, kepercayaan dapat dipulihkan. Keadilan akan bersemi kembali di hati setiap warga negara.