Dalam kehidupan yang seringkali tak sempurna dan memang tidak ideal ini, kita menemukan diri kita terjebak dalam jalinan sistem yang tak jarang penuh dengan celah dan kelemahan. Di sini, akal bulus menjadi semacam seni terselubung, sebuah tarian licik yang dimainkan oleh mereka yang pandai menemukan ritme dalam ketidaksempurnaan. Tak bisa dipungkiri, sistem yang kita sandarkan harapan seringkali memberi panggung bagi mereka yang cerdik untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, seolah-olah keadilan dan kejujuran hanyalah kata-kata yang terlupakan.
Ketika sistem memberi imbalan atas hasil tanpa memedulikan cara, tidak heran jika beberapa dari kita memilih jalan pintas, mengabaikan batas-batas etika demi piala kemenangan. Dan ketika sistem itu sendiri terinfeksi oleh korupsi dan ketidakadilan, akal bulus menjadi alat survival, sebuah strategi untuk bertahan dalam permainan yang sudah rusak sejak awal.
Kita tidak bisa mengabaikan bagaimana tekanan ekonomi dan sosial membentuk narasi ini. Bagi mereka yang terjepit oleh kebutuhan dan keinginan, akal bulus menjadi pilihan yang rasional, sebuah jawaban atas pertanyaan bagaimana cara bertahan hidup ketika jalan yang lurus tampak terlalu sempit dan terjal. Di sini, ketidaksetaraan menjadi guru yang kejam, mengajarkan pelajaran tentang bagaimana dunia bekerja bagi mereka yang tidak diberi kesempatan yang sama.
Namun, tidak semua tindakan licik lahir dari kebutuhan atau kekurangan. Ada pula yang terlahir dari sifat dasar manusia yang memang cenderung manipulatif, yang melihat sistem sebagai panggung sandiwara di mana mereka adalah sutradaranya. Nilai-nilai pribadi dan moral menjadi penentu, menjadi batas antara yang memilih jalan lurus dan yang berbelok, antara yang memegang teguh integritas dan yang membiarkan diri tergelincir.
Pendidikan dan lingkungan sosial yang kita alami juga turut menentukan. Bagaimana kita diajarkan untuk melihat dunia, apa yang kita anggap dapat diterima, dan bagaimana kita dibentuk oleh lingkungan kita, semua itu berkontribusi pada kecenderungan untuk memilih jalan yang satu atau yang lain. Dan ketika akal bulus menjadi norma, menjadi bagian dari keseharian, rasionalisasi menjadi lebih mudah. “Ini adalah cara dunia bekerja,” begitu kita meyakinkan diri.
Untuk mengubah tarian ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar perubahan aturan. Kita membutuhkan transformasi yang lebih dalam, yang menggali akar dari sistem yang kita bangun dan nilai-nilai yang kita pegang. Kita membutuhkan reformasi yang menyentuh dasar dari bagaimana kita berinteraksi sebagai masyarakat, bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan, dan bagaimana kita menghargai kejujuran dan integritas. Hanya dengan demikian kita bisa berharap untuk mengubah musik, sehingga tarian yang kita lakukan tidak lagi merupakan tarian akal bulus, melainkan tarian keadilan yang sejati.