Terasa menyesakkan panggung politik Indonesia saat ini. Kita menemukan diri kita terjerat dalam tarian Machiavelli yang tak kunjung usai. Kita menyaksikan, dengan mata yang terbuka namun seringkali tak percaya, bagaimana kekuasaan menjadi altar tertinggi, dan moral—seperti kata Sukidi dalam “Machiavelli Jawa” di Tempo—hanyalah bayang-bayang yang terlupakan dalam riuh rendahnya ambisi.
Machiavelli, dengan mata tajamnya, mungkin akan mengangguk-angguk melihat panggung sandiwara ini. Di mana virtù—kecakapan dan keberanian—bukan lagi tentang kebijaksanaan, melainkan kepiawaian dalam memainkan narasi. Fortuna—nasib atau keberuntungan—tak lagi menjadi dewi yang tak terduga, melainkan sesuatu yang dikejar dengan strategi yang terkadang melampaui batas-batas etika.
Kita berada di era di mana politik menjadi semacam permainan catur yang dimainkan dengan aturan-aturan yang terus berubah sesuai keinginan pemain yang paling berkuasa. Kekuasaan telah menjadi tujuan akhir yang membenarkan segala cara. Dan dalam permainan ini, moralitas menjadi seperti pion-pion yang dikorbankan demi melindungi raja dan ratu dalam permainan kekuasaan.
Namun, apakah kita harus menerima ini sebagai realitas yang tak terelakkan? Apakah kita harus menyerah pada pandangan yang sinis bahwa politik adalah wilayah di mana etika harus dikesampingkan demi pragmatisme? Sukidi, dalam tulisannya, mungkin telah menyentuh sebuah benang merah yang menghubungkan kita dengan Machiavelli Jawa, di mana kekuasaan dan kebijaksanaan harus berjalan beriringan, namun apa yang kita saksikan hari ini adalah kekuasaan yang berjalan sendirian, meninggalkan kebijaksanaan tergeletak lemah di belakangnya.
Sebagai bangsa, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Apakah ini benar-benar wajah Indonesia yang ingin kita tunjukkan kepada dunia? Apakah kita akan membiarkan politik realistis ini terus menggerogoti fondasi moral yang seharusnya menjadi pondasi dari kekuatan kita sebagai negara?
Mungkin, saatnya telah tiba untuk kita kembali ke meja gambar, bukan untuk merancang strategi kekuasaan yang lebih licik, melainkan untuk menggambar ulang visi politik kita dengan tinta yang lebih beretika dan berkeadilan. Kita harus menemukan kembali arti dari virtù yang sesungguhnya, yang tidak hanya mencakup keberanian dan kecerdikan, tetapi juga kebijaksanaan dan keadilan.
Dalam mencari jalan keluar dari pikiran Machiavellian ini, kita harus ingat bahwa kekuasaan yang sejati bukanlah yang diperoleh dengan mengorbankan moral, melainkan yang dibangun di atas kepercayaan dan integritas. Dan mungkin, hanya mungkin, kita dapat menemukan kembali jati diri kita sebagai bangsa yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana dan mulia.
Semakin hari sepertinya semakin banyak pengikut Mavhievelli yang memisahkan etika dan politik, yang merupakan pemikiran Mavhievelli yang paling kontroversial. Sungguh, dengan pijakan ini dia berpendapat bahwa apa yang dianggap tidak bermoral dalam kehidupan pribadi bisa diterima dalam politik, bahkan diperlukan dalam politik. Sungguh miris melihat keadaan ini.