Di antara pengetahuan dan ruang-ruang akademis, tersembunyi bayang-bayang kesombongan, serupa hantu yang merayap dalam diam. Kesombongan, layaknya pakaian yang terlalu sempit, membatasi gerak, mengikat pemikiran. Ia adalah cermin yang hanya memantulkan satu wajah: diri sendiri.
Dalam dunia akademis, kesombongan ini berwujud dalam tinta-tinta jurnal yang dipublikasikan, bukan sebagai sumbangsih pada perbendaharaan ilmu, melainkan sebagai medali semu pada dada. Seorang mahasiswa doktor yang saya temui, bagai pahlawan dalam cerita yang hanya dia kenal, berjalan dengan kepala tegak, merasa telah menaklukkan dunia dengan publikasi jurnalnya. Namun, jurnal tersebut, ketika ditelaah, lebih mirip daun-daun kering yang berterbangan, tanpa akar, tanpa substansi.
Kesombongan akademis adalah ironi yang menyedihkan. Ilmu pengetahuan, yang seharusnya menjadi jembatan menuju kebenaran, malah terkubur di bawah ego yang menggunung. Seorang ilmuwan, dalam esensi sejatinya, adalah pengembara yang tak pernah berhenti bertanya, mencari, dan merenung. Dia adalah pendengar yang baik, bukan orator yang hanya mencintai suara sendirinya.
Di universitas, tempat di mana pikiran-pikiran muda bercokol, harusnya menjadi lahan subur bagi keaslian dan integritas. Kita berbicara tentang kebenaran, bukan tentang bayangan kebenaran yang dibentuk oleh kesombongan. Kita berbicara tentang prestasi yang tumbuh dari akar yang kuat, bukan yang terbang dengan angin pertama yang datang.
Kesombongan akademis, pada akhirnya, adalah perangkap bagi diri sendiri. Ia menutup pintu terhadap dialog, terhadap pertumbuhan. Ia adalah dinding yang menghalangi cahaya matahari pengetahuan untuk menyinari batin. Dan dalam kegelapan itu, kita semua menjadi miskin, kehilangan kekayaan yang seharusnya kita warisi: kekayaan pemikiran, kekayaan dialog, kekayaan kebersamaan dalam mencari dan menemukan.