Di sudut rawon, secuil Indonesia

Baru-baru ini saya berkunjung ke Depot Rawon Nguling, sebuah restoran rawon yang sangat populer di Kota Malang, dan melihat fenomena yang menarik dari perspektif sosiologi. Selama kunjungan itu, saya juga disapa oleh salah satu mahasiswa magister saya di Universitas Negeri Malang (UM) yang ternyata sedang makan bersama orang tuanya yang datang dari Sumatera di sana.

Aroma kluwek menguar, berbaur dengan riuh rendah Pasar Besar Malang. Di sini, di rumah makan rawon yang tak pernah sepi, terhampar sepenggal kisah Indonesia. Bukan sekadar soal rasa yang menggigit lidah, tapi juga tentang mereka yang datang dan pergi, tentang hidup yang berputar di atas piring-piring berkuah hitam.

Ada Mbak Tinah, tangannya cekatan mengiris daging, peluh membasahi dahi. Ia bagian dari roda yang terus berputar, menyambung hidup dari semangkuk demi semangkuk rawon yang terjual. Ada juga Pak Karto, tukang parkir yang senantiasa sigap, mengais rezeki dari keramaian yang tak pernah surut. Hubungan ekonomi antara mereka ini saling bergantungan: pemilik restoran membutuhkan pekerja yang cekatan seperti Mbak Tinah untuk menjaga kualitas rawon, sementara tukang parkir seperti Pak Karto memanfaatkan keramaian restoran untuk mendapatkan penghasilan.

Di meja sudut, sekelompok turis asing asyik menyeruput kuah, mencoba memahami rasa yang asing di lidah mereka. Sementara di depan pintu, pengamen bersuara serak melantunkan lagu, berharap recehan dari pengunjung yang bersimpati. Pengamen dan pengemis yang berkeliaran menambah warna pada dinamika sosial dan ekonomi restoran, sering kali menerima aliran kecil pendapatan dari simpati pelanggan yang menikmati makanan mereka.

Semua menyatu dalam hiruk-pikuk yang khas. Si kaya dan si miskin, si lokal dan si asing, semua duduk sama rendah, menikmati rawon yang sama. Inilah Indonesia mini, di mana perbedaan bukan penghalang, tapi justru bumbu yang memperkaya rasa.

Rawon tak hanya soal makanan, tapi juga tentang bagaimana kita hidup bersama. Tentang bagaimana kita saling membutuhkan, saling mengisi, dan saling memberi warna. Seperti rawon itu sendiri, hitam pekat namun menyimpan rasa yang begitu kaya.

Di balik kepulan asap dapur, di antara obrolan dan tawa pengunjung, ada cerita tentang perjuangan, tentang harapan, tentang mimpi-mimpi yang terus menyala. Di sudut rawon ini, kita belajar tentang Indonesia, tentang diri kita sendiri, tentang makna hidup yang sesungguhnya. Ekonomi saling ketergantungan ini mencerminkan bagaimana setiap elemen dalam masyarakat bisa berkontribusi dan saling mendukung dalam menjalani kehidupan sehari-hari.