Pythagoras, di bawah langit Athena yang jernih, pernah membagi jiwa manusia: kecerdasan, nalar, dan nafsu. Dua yang pertama, adalah milik bersama dengan satwa di rimba raya. Namun, nalar, ia adalah anugerah khusus bagi manusia, obor yang menerangi jalan di antara kabut kebodohan.
Intelektual sejati, mereka bukan sekadar otak yang cemerlang, melainkan jiwa yang terpaut pada nalar. Nalar, ia adalah kompas yang menuntun langkah di tengah badai emosi dan godaan popularitas. Ia adalah lentera yang tak pernah padam, menyinari lorong-lorong gelap dogma dan prasangka.
Di zaman yang riuh oleh informasi, bagai pasar yang disesaki aneka barang, intelektual sejati adalah penjaga pasar itu. Mereka memilah, memilih, dan menawarkan yang terbaik bagi para pembeli: kebenaran yang jernih, keputusan yang bijaksana, dan masa depan yang gemilang.
Namun, jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan yang mulus. Ia adalah jalan terjal, penuh onak dan duri. Ia adalah jalan yang menuntut keberanian untuk melawan arus, kerendahan hati untuk mengakui kesalahan, dan dahaga yang tak pernah padam akan pengetahuan.
Galileo, di bawah langit Italia yang biru, berani menantang dogma gereja yang telah berurat akar. Socrates, di tengah hiruk-pikuk agora Athena, rela mereguk racun demi mempertahankan keyakinannya. Mandela, di balik jeruji besi, tak pernah goyah dalam memperjuangkan keadilan bagi bangsanya.
Di bumi Nusantara, Bung Hatta, sang proklamator, adalah perwujudan intelektual sejati. Ia adalah mercusuar yang tak pernah padam, membimbing bangsa ini menuju kemerdekaan dan kemajuan. Nalarnya tajam, integritasnya tak tergoyahkan, dan keberaniannya menyuarakan kebenaran tak pernah surut, bahkan di hadapan kekuasaan yang represif.
Zaman berganti, tantangan pun berubah. Dulu, intelektual sejati berhadapan dengan raja yang lalim dan dogma agama yang membelenggu. Kini, mereka berhadapan dengan banjir informasi yang menyesatkan, perpecahan yang merobek persatuan, dan godaan untuk larut dalam arus yang dangkal.
Namun, esensi perjuangan mereka tetap abadi: menegakkan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan membangun masyarakat yang lebih baik. Nalar, ia adalah senjata utama mereka, mercusuar yang tak pernah padam di tengah gelombang zaman yang terus bergulung.