Catatan ini merespons perspektif mengenai publikasi ilmiah yang dijadikan alat untuk naik pangkat yang tidak wajar, seperti yang diberitakan oleh majalah Tempo. Isu ini menjadi perdebatan di grup WhatsApp yang saya ikuti.
Dalam bayang-bayang kata-kata yang mengalir dari pena Jean Baudrillard, kita menemukan dunia yang aneh dan terasing—dunia simulakra ketiga, di mana tanda dan simbol terlepas dari realitas asli, menciptakan sebuah hiperrealitas yang mengelilingi kita dalam pelukan tipuan yang lembut. Bayangkanlah publikasi ilmiah kita yang begitu kita agungkan, ternyata hanyalah bayangan hampa yang bergoyang-goyang dalam dunia absurditas.
Tanda dan realitas yang terpisah
Dalam era modern ini, publikasi ilmiah sering kali tidak lagi menjadi cermin kebenaran yang setia. Ia berubah menjadi refleksi yang diputarbalikkan, diwarnai oleh kepentingan ekonomi, politik, dan sosial. Jurnal-jurnal ilmiah kini lebih sering dihiasi dengan artikel-artikel yang bukan saja mengulang-ulang narasi lama, tetapi juga memolesnya hingga tak lagi dikenali sebagai cerminan realitas.
Baudrillard, dalam buku Simulacra and Simulation, menegaskan bahwa dalam masyarakat yang dilingkupi oleh hiperrealitas, batas antara yang nyata dan yang tak nyata memudar, hingga kita tidak lagi dapat membedakan mana yang hakiki dan mana yang hanyalah bayangan. Di sinilah letak ketakutan kita: publikasi ilmiah yang seharusnya menjadi mercusuar pengetahuan, kini menjadi mercusuar fatamorgana.
Ketika riset ilmiah menjadi ilusi besar
Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation, memperkenalkan kita pada konsep simulakra: tanda dan simbol yang kehilangan hubungan dengan realitas, hingga akhirnya berdiri sendiri, terlepas dari apa pun yang mereka wakili. Tanda ini bisa berkembang dari cermin realitas yang setia, hingga menjadi bayangan yang tak lagi punya hubungan dengan apa pun. Dan lucunya, konsep ini bisa dihubungkan dengan dunia riset ilmiah masa kini—dari pencarian kebenaran hingga permainan ilusi kosong yang hanya sibuk dengan tanda-tanda dan simbol ilmiah.
Bayangkan riset ilmiah sebagai upaya heroik mencari kebenaran, di mana para peneliti berperan sebagai detektif yang gigih. Pada awalnya, mereka membawa obor terang, menggali fakta-fakta penting, menyingkap misteri alam semesta, dan menyajikannya dengan bangga kepada dunia dalam jurnal-jurnal akademik. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka mulai lebih sibuk dengan hal lain: bukan dengan realitas, tapi dengan kesibukan mengejar jumlah publikasi. Hasilnya? Dari kebenaran murni menjadi simulasi kosong yang hanya memperdaya.
Tahap pertama dalam perjalanan ini dimulai dengan niat mulia—penelitian asli. Artikel yang diterbitkan penuh dengan data yang akurat dan analisis yang tajam. Bagi pembaca, artikel itu adalah cermin yang jujur, merefleksikan realitas sesungguhnya. Semua tampak baik-baik saja. “Ya, ini dia,” kata para pembaca, “Inilah kebenaran ilmiah!”
Namun, seperti kisah detektif yang terlalu sibuk untuk makan siang, dalam tahap berikutnya, para peneliti mulai sedikit ceroboh. Mereka mulai merasa terburu-buru untuk menghasilkan lebih banyak artikel, bahkan jika itu berarti harus mengubah beberapa fakta di sana-sini. Tidak terlalu parah, mungkin hanya sedikit “memoles” data agar tampak lebih meyakinkan. Seperti halnya detektif yang menemukan bukti palsu dan memutuskan, “mungkin ini cukup baik untuk mengelabui para juri.”
Lalu, tibalah tahap yang paling ironis: riset yang diterbitkan tidak lagi berhubungan dengan kenyataan. Penelitian ini hanya tampak ilmiah di permukaan, tetapi jika kita menggali lebih dalam, tidak ada yang signifikan di baliknya. Ini seperti peneliti yang mengklaim menemukan harta karun, tetapi saat Anda membuka peti, isinya hanya udara kosong. Para peneliti pada tahap ini tidak menyadari bahwa mereka sedang bermain sulap—tapi sulap yang tidak ada penontonnya. “Yes, inilah kebenaran!” mereka serukan, padahal itu hanyalah tiruan murahan dari penelitian yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, kita mencapai tahap puncak—simulacrum murni. Di sini, semua orang bermain teater. Setiap artikel hanya menyalin artikel lainnya, tanpa ada realitas yang tersisa. Setiap riset tampak seperti riset, tetapi sebenarnya tidak ada isinya sama sekali. Ini adalah dunia di mana peneliti dan pembaca sama-sama berpura-pura. Di sini, kita tidak lagi peduli pada kebenaran ilmiah, melainkan hanya berupaya membuat diri kita terlihat sibuk dengan “produksi ilmu” yang tiada henti. Hasilnya? Sebuah paradoks di mana semakin banyak penelitian diproduksi, semakin sedikit ilmu yang benar-benar kita ketahui.
Mungkin, suatu hari nanti, seorang peneliti muda akan bertanya, “Mengapa kita menulis semua ini?” Dan pada saat itu, kita hanya bisa tertawa sambil berkata, “kamu baru saja memulai—selamat datang di ilusi besar bernama riset akademik!”
Erosi integritas dan kepercayaan
Ketika simulakra ketiga merayap dalam dunia akademik, ia tidak hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga mengikis kepercayaan. Kita terjebak dalam lingkaran absurd, di mana hasil penelitian yang direkayasa untuk memenuhi agenda tertentu diakui sebagai kebenaran. Kita lupa bahwa di balik kata-kata dan angka-angka itu, seharusnya ada upaya murni untuk memahami alam dan kehidupan.
Literatur ilmiah yang seharusnya menjadi pilar pengetahuan kini menjadi tumpukan kertas tanpa makna. Para peneliti terdorong untuk mengejar citra yang diinginkan, bukan kebenaran yang sebenarnya. Mereka tenggelam dalam hiperrealitas, di mana validitas dikorbankan demi pengakuan dan kepentingan semu.
Publikasi ilmiah sebagai simulakra ketiga adalah potret getir zaman kita. Seperti yang dikatakan oleh Baudrillard, kita hidup dalam dunia di mana representasi menjadi lebih penting daripada kenyataan itu sendiri. Ini adalah dunia di mana publikasi ilmiah yang terputus dari realitas asli tidak lagi memajukan ilmu pengetahuan, tetapi menciptakan labirin absurditas yang memenjarakan kita dalam ilusi yang kita ciptakan sendiri.
Refleksi
Kita harus kembali mengingat esensi dari upaya ilmiah: pencarian kebenaran. Tanpa ini, kita hanyalah pembuat bayangan dalam gua Plato, terpaku pada dinding ilusi, takut menatap sinar matahari kebenaran. Seperti puisi yang indah namun kosong, publikasi ilmiah yang terputus dari realitas hanya akan menjadi catatan sunyi dalam lembar sejarah yang dilupakan.
Kita butuh kesadaran dan keberanian untuk menerobos batas-batas simulakra ini, agar kita bisa kembali menemukan cahaya pengetahuan yang sejati. Hanya dengan demikian, kita dapat menghindari terjebak dalam hiperrealitas dan absurd, dan sekali lagi menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pemandu dalam perjalanan kita memahami alam semesta.