Sebenarnya, tidak ada yang menarik dari catatan ini. Biasa saja. Namun saya merasa perspektif ini penting dalam memandang kehidupan.
Beberapa waktu lalu, di bawah langit Kota Malang, saya bertemu dengan dua sosok yang tampaknya diciptakan dari lembaran cerita berbeda. Pertama, penjual makanan pinggir jalan yang hidupnya tak semewah Crazy Rich Malang. Dengan wajah yang berseri dan senyum yang seolah-olah bisa menambal lubang di jalanan kota, ia menawarkan dagangannya. Tak ada keluhan tentang harga BBM yang naik atau korupsi pejabat yang bikin meradang. Hidupnya sederhana, sesederhana naskah drama yang tak bertele-tele.
Lalu, ada teman saya. Seorang pebisnis sukses yang dompetnya lebih gemuk daripada ayam potong menjelang Idul Adha. Namun, setiap kali bertemu, alih-alih cerita tentang pencapaian dan tawa, ia lebih sering bercerita tentang kekosongan. Tentang kegagalan dalam mengejar kebahagiaan yang tak pernah tuntas. Bukan mobil sport terbaru atau rumah mewah di kawasan elite yang menjadi topik utama, melainkan pertanyaan eksistensial yang membuat Nietzsche pun angkat tangan.
Sebagai seorang pendidik yang telah melangkah setengah baya, saya melihat perbedaan ini dengan kacamata yang sedikit berbeda. Saya merenung, seperti seorang filsuf yang baru saja menemukan kopi di pagi hari. Mengapa kebahagiaan tampak lebih sering hinggap pada mereka yang hidup sederhana? Bukankah seharusnya kekayaan materi membawa kebahagiaan yang melimpah ruah?
Jawabannya, mungkin, terletak pada sesuatu yang lebih subtil. Hidup sederhana mengajarkan kita untuk merasa cukup. Cukup dalam menikmati setiap detik, dalam memaknai setiap senyum, dan dalam menerima setiap kenyataan. Sementara kekayaan sering kali membawa kita pada pencarian tanpa akhir, seperti Don Quixote yang tak pernah lelah mencari kincir angin.
Sebagai seorang dosen yang telah menghabiskan bertahun-tahun menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan pada generasi muda, saya menyadari bahwa pelajaran terbesar tentang kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dalam buku teks. Di dalam hati yang merasa cukup, ada ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ada kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh naik turunnya saham. Sederhana, mungkin, adalah cara Tuhan mengingatkan kita bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dipatok pada angka-angka di rekening bank.
Dan penjual makanan itu? Ia mungkin tak pernah membaca buku-buku filsafat atau menghadiri seminar tentang kebahagiaan. Namun, dalam setiap sendok nasi yang ia jual, ada pelajaran penting tentang hidup: bahwa menjadi diri sendiri dan merasa cukup adalah kunci dari kebahagiaan yang sejati.
Akhirnya, bahwa sesungguhnya, kaya atau miskin, semua orang sedang mencari hal yang sama—bahagia. Tetapi, mereka yang tahu kapan harus berhenti mencari dan mulai menikmati, adalah mereka yang benar-benar menemukannya. Dan sebagai seorang pendidik, saya berharap bisa menanamkan kesadaran ini pada murid-murid saya, bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada materi, melainkan pada kemampuan untuk merasa cukup dan menikmati hidup apa adanya.