Logika di dunia politik: Andai lampu lalu lintas ikut Pemilu

Bayangkan jika lampu lalu lintas bisa ikut pemilu dan memutuskan aturannya sendiri. Hijau artinya berhenti, merah artinya jalan, dan kuning artinya bebas melakukan apapun—mungkin mirip dengan bagaimana beberapa politisi kita membuat kebijakan! Kekacauan pasti akan merajalela, dan polisi lalu lintas pun akan sibuk melambaikan tangan, bukan untuk mengatur lalu lintas, tapi untuk mengelap keringat karena pusing.

Mari kita lihat lebih dekat analogi ini. Di dunia nyata, lampu lalu lintas punya aturan yang jelas: hijau berarti jalan, merah berarti berhenti, dan kuning berarti hati-hati. Semua orang yang waras akan mengikuti aturan ini untuk menjaga kelancaran lalu lintas dan menghindari tabrakan. Tapi apa jadinya kalau setiap pengemudi punya interpretasi sendiri? Misalnya, si A menganggap hijau artinya berhenti karena suka warna damai, si B menganggap merah artinya jalan karena suka warna merah yang gagah. Hasilnya? Kecelakaan di setiap persimpangan dan berakhirnya era ketenangan polisi lalu lintas.

Sekarang, bayangkan ini terjadi di politik Indonesia. Logika, yang seharusnya menjadi lampu lalu lintas bagi argumen dan keputusan, sering kali diabaikan atau diinterpretasikan secara bebas seperti warna favorit. Contoh simpel: seorang politisi berkata, “Jika kita meningkatkan anggaran pendidikan, maka anak-anak akan lebih pintar.” Logika sederhana ini mudah dipahami—anggaran naik, kualitas pendidikan naik, anak-anak lebih pintar.

Namun, di dunia politik, logika ini bisa berubah-ubah sesuai dengan kepentingan. Tiba-tiba, ada yang berkata, “Jika kita meningkatkan anggaran pendidikan, maka semua jalan akan bebas macet.” Nah loh, hubungannya apa? Tapi jangan kaget, ini adalah kenyataan dalam politik kita. Seolah-olah logika bukan lagi alat untuk berpikir, tapi semacam bumbu rahasia yang bisa ditambahkan sesuai selera. Tidak peduli jika rasa akhirnya jadi absurd, yang penting tampilannya menarik.

Tanpa logika yang konsisten, kebijakan yang dihasilkan bisa menjadi tidak efektif, bahkan merugikan. Seperti lampu lalu lintas tanpa aturan jelas, politik tanpa logika adalah resep pasti untuk kekacauan. Dan ini tidak hanya terjadi di level nasional atau lokal; hal yang sama juga terjadi di semua lini politik, termasuk politik universitas. Bayangkan dosen dan mahasiswa membuat kebijakan akademik tanpa logika yang jelas—kuliah yang seharusnya meningkatkan pengetahuan malah berakhir dengan diskusi tentang topik yang tidak relevan, sekadar untuk terlihat intelek.

Dalam politik universitas, logika seharusnya menjadi panduan utama dalam pengambilan keputusan. Namun, seringkali logika diabaikan demi ambisi pribadi atau kelompok. Hasilnya adalah kebijakan yang membingungkan dan tidak efisien, mirip dengan lampu lalu lintas yang berubah warna tanpa aturan.

Dengan analogi ini, mari kita berharap para politisi, baik di level nasional maupun universitas, bisa lebih logis, dan mungkin suatu hari nanti kita bisa melihat keputusan yang tidak hanya berwarna-warni tapi juga bermakna dan bermanfaat bagi semua. Karena pada akhirnya, logika adalah alat yang paling sederhana namun paling ampuh untuk menjaga jalanan politik tetap lancar dan bebas dari kecelakaan kebijakan.