Di zaman serba instan ini, di mana setiap orang bisa jadi ahli dadakan bermodalkan Google lima menit, menjaga jarak bukan cuma soal etika, tapi juga seni bertahan hidup. Bayangkan, Anda sedang asyik menikmati drama Korea, tiba-tiba ada teman curhat soal masalah percintaannya yang lebih rumit dari plot drama itu sendiri. Anda bisa saja terjebak dalam pusaran emosi, ikut menangis tersedu-sedu sambil mengutuk sang mantan, atau Anda bisa memilih jadi penonton yang bijak, menganalisis situasi dengan kepala dingin sambil tetap menikmati popcorn.
Jarak adalah kunci. Bukan berarti kita jadi manusia dingin tanpa empati, tapi lebih kepada menjaga kewarasan di tengah badai informasi dan emosi. Seperti pepatah bijak mengatakan, “Semakin dekat dengan api, semakin besar risiko terbakar.” Nah, kalau masalah itu adalah api, kita harus pintar-pintar menjaga jarak agar tidak jadi korban.
Ilmuwan bilang, jarak membantu kita mengurangi bias kognitif. Sederhananya, otak kita itu suka cari pembenaran atas apa yang sudah kita yakini. Makanya, kalau terlalu dekat dengan suatu masalah, kita cenderung melihatnya dari satu sisi saja. Jadinya, bukannya solusi yang didapat, malah sakit kepala berkepanjangan.
Jadi, lain kali kalau ada teman curhat masalah yang bikin pusing tujuh keliling, coba praktikkan “seni menilai dari jauh”. Dengarkan dengan seksama, tapi jangan lupa aktifkan mode “analisis objektif”. Siapa tahu, dengan menjaga jarak yang tepat, Anda bisa melihat solusi yang tadinya tersembunyi di balik kabut emosi.
Ingat, menjaga jarak bukan berarti jadi manusia anti-sosial. Kita tetap bisa peduli dan membantu, tapi dengan cara yang lebih cerdas dan efektif. Lagipula, siapa bilang jadi penonton itu membosankan? Buktinya, acara gosip tetap jadi favorit banyak orang, kan?
Jadi, mari kita latih kemampuan “menilai dari jauh” ini. Siapa tahu, kita bisa jadi generasi baru yang lebih bijak, lebih objektif, dan tentunya, lebih bahagia.