Ketika dunia memilih pemimpin: Antara kompetensi dan kesempatan

Di dunia yang seharusnya berputar di atas roda logika dan kebijaksanaan, kenyataan malah seringkali seperti panggung sandiwara yang penuh dengan adegan-adegan absurd. Kita semua tahu, bahwa di masa modern ini, masyarakat sangat menginginkan pemimpin yang kompeten, berwawasan luas, dan mampu memecahkan masalah-masalah kompleks yang mendera dunia. Tapi, apa yang kita dapat? Ya, sering kali justru kebalikan dari itu! Mari kita tertawa bersama dalam kesedihan sambil mengamati fenomena ini.

Politik: Sebuah realitas teaterikal

Kita mulai dari panggung politik, di mana para aktor berlaga dengan penuh semangat. Sayangnya, seperti teater murahan yang penuh dengan efek suara dramatis dan plot yang klise, sering kali kita menyaksikan pemimpin yang terpilih adalah mereka yang pandai memainkan peran, bukan yang pandai menyelesaikan masalah. Lihatlah mereka yang tampil dengan janji-janji setinggi langit, menawarkan ‘solusi’ yang sering kali tak lebih dari sekedar sulap murah di hadapan massa yang haus akan harapan. Begitu tabir dibuka, yang tersisa hanya asap dan cermin—efek ilusi semata.

Bukankah sangat ironis? Kita hidup di era di mana informasi berada di ujung jari kita, namun sering kali kita malah memilih pemimpin dengan cara yang lebih mirip permainan kucing dan tikus. Ada yang bilang, “Kita memilih pemimpin yang pantas kita dapatkan.” Nah, jika melihat hasilnya, apakah ini berarti kita memang pantas mendapatkan pemimpin yang lebih pandai dalam membuat meme di media sosial daripada kebijakan publik?

Panggung politik: Audisi atau lomba popularitas?

Jika politik adalah sebuah permainan, maka pemilihan umum tak lain hanyalah audisi besar-besaran di mana yang menang bukanlah yang paling berbakat, melainkan yang paling pandai menjilat. Lomba popularitas? Tentu saja. Kompetensi mungkin bagus untuk para teknokrat, tapi di dunia politik, itu hanya sebuah kata yang terdengar manis namun sering kali tak punya tempat di atas panggung.

Kita bisa membayangkan bagaimana para pemimpin ini berlatih keras untuk menghadapi audisi. Mereka memoles pidato, mengasah senyuman, dan belajar bagaimana memiringkan kepala dengan anggun saat berfoto. Tapi sayang, ketika berhadapan dengan tantangan nyata seperti krisis ekonomi atau perubahan iklim, mereka sering kali hanya bisa berdiri diam, bingung seperti aktor yang lupa naskahnya.

Teknologi canggih, pemimpin gagap

Sungguh menggelikan melihat bagaimana teknologi dan kecerdasan buatan berkembang begitu pesat, namun pemimpin yang terpilih sering kali gagap menghadapi perubahan ini. Mereka seperti mencoba mengendalikan mobil sport terbaru dengan manual berkendara dari abad ke-19. Kita semua tahu hasilnya: kecelakaan.

Sementara kita berbicara tentang kecerdasan buatan yang bisa membantu kita memilih pemimpin dengan lebih baik, pemimpin yang terpilih justru sering kali lebih tertarik pada hal-hal yang tidak relevan. Contoh klasik adalah ketika mereka lebih peduli tentang jumlah pengikut di media sosial daripada memikirkan cara untuk meningkatkan perekonomian. Jika saja kompetensi bisa diukur dari jumlah “likes” dan “retweets,” dunia ini mungkin akan menjadi tempat yang jauh lebih sederhana—dan absurd!

Kompetensi? Mungkin nanti saja

Dan begitulah, di dunia yang penuh dengan tantangan kompleks, kita sering kali terjebak dengan pemimpin yang tidak kompeten, yang lebih sibuk memainkan permainan politik daripada memikirkan cara untuk keluar dari krisis. Seperti dalam permainan papan yang tak ada akhirnya, kita melangkah maju satu petak, mundur dua petak, dan terus mengelilingi papan tanpa pernah mencapai tujuan.

Jadi, di tengah semua ini, mungkin kita hanya bisa berharap—atau tertawa—bahwa suatu hari nanti, dunia akan menemukan cara untuk memilih pemimpin yang benar-benar kompeten. Sampai saat itu tiba, mari kita nikmati permainan ini, lengkap dengan segala absurditas dan ironi yang ada. Lagipula, seperti kata pepatah lama yang tak pernah usang: “Dunia ini memang panggung sandiwara, dan kita semua hanyalah para aktornya.” Dan di panggung ini, tampaknya kita semua sedang bermain dalam sebuah komedi yang belum berakhir.