Intelektual yang ditumbangkan sebelum berkecambah

Kita hidup di zaman di mana menjadi intelektual adalah sebuah anomali yang nyaris mustahil. Bagaimana tidak? Bayangkan sebatang pohon yang dipaksa tumbuh di atas aspal. Bukan karena kekurangan nutrisi atau sinar matahari, tetapi karena setiap kali daunnya muncul, aspal baru segera dituang di atasnya. Begitulah nasib intelektual di sebuah negeri yang lebih sibuk merapikan jalan daripada merawat tunas yang mungkin tumbuh.

Intelektual adalah spesies yang tidak akan lahir dalam kondisi di mana segala bentuk berpikir mendalam dianggap sepele atau bahkan diabaikan. Lihat saja, mulai dari tradisi intelektual yang terpinggirkan, hingga kepada doktrin yang lebih menekankan pengulangan tanpa pertanyaan, lebih berakar kuat dibandingkan dengan pemikiran kritis. Jadi, bagaimana mungkin kita bisa berharap kelahiran intelektual jika tanah tempatnya tumbuh adalah aspal kaku yang tidak pernah diizinkan retak?

Dan tidak berhenti di situ, universitas yang seharusnya menjadi taman bagi tumbuhnya pohon-pohon intelektual malah berperan menjadi penyiram aspal itu sendiri. Dalam sistem budaya ilmiah universitas, yang lebih dipedulikan adalah output daripada outcome. Lihatlah bagaimana para akademisi dan mahasiswa didorong untuk terus memproduksi kertas-kertas ilmiah yang lebih berfokus pada kuantitas daripada kualitas. Tujuannya jelas, bukan untuk mendidik mahasiswa menjadi ilmuwan yang handal dan berpikir mendalam, melainkan untuk mendongkrak peringkat universitas di kancah global.

Paper-paper ilmiah yang dihasilkan bukanlah cerminan dari pemikiran yang mendalam, tetapi lebih sebagai alat untuk mengejar angka dan ranking. Mahasiswa dilatih bukan untuk menjadi pemikir, tetapi sebagai mesin yang efisien dalam menghasilkan publikasi. Dalam iklim seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa melahirkan generasi intelektual yang tangguh, jika mereka sudah dirantai oleh ambisi institusi yang lebih mengutamakan citra daripada substansi?

Universitas, yang seharusnya menjadi pusat peradaban intelektual, justru terjebak dalam perangkap pragmatisme sempit. Alih-alih mengajarkan mahasiswa untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana”, mereka malah diajari untuk cepat-cepat menulis “apa” yang bisa dipublikasikan, meskipun isinya kosong melompong. Akhirnya, lulusan yang dihasilkan adalah mereka yang piawai dalam menulis tetapi tumpul dalam berpikir. Intelektual yang ditumbangkan sebelum mereka sempat berkecambah.

Refleksi

Jika kita tidak menciptakan kondisi yang kondusif bagi intelektual untuk lahir dan berkembang, maka jangan heran jika mereka tidak pernah muncul. Intelektual bukanlah sebuah kebetulan; mereka adalah hasil dari ekosistem yang mendukung pemikiran, refleksi, dan diskusi yang mendalam. Sayangnya, di negeri yang lebih sibuk menata jalan daripada menumbuhkan ide, kita hanya akan mendapatkan aspal yang mulus tanpa tunas yang menghijau. Dan jika universitas hanya peduli pada output tanpa memikirkan outcome, maka kita akan terus menghasilkan lulusan yang hanya mengejar angka tanpa memiliki kedalaman berpikir.