Ketika iblis mengolok dosen: Menggugat integritas di balik topeng akademis

Di dunia akademis yang penuh dengan gelar dan ego, dosen sering kali merasa sebagai makhluk terpintar di alam semesta. Mereka dengan percaya diri mengutip teori-teori yang rumit dan menatap layar laptop mereka seolah-olah sedang menyusun kata-kata untuk menyelamatkan dunia. Namun, ada satu sosok yang sayangnya tidak terkesan dengan semua ini: Iblis.

Iblis, yang telah terlibat dalam bisnis menggoda manusia sejak zaman dahulu, mungkin tertawa terbahak-bahak melihat betapa seriusnya para dosen ini menganggap diri mereka sendiri. Lihat saja beberapa dosen yang menganggap manipulasi data sebagai “sedikit bumbu untuk ditambahkan ke hasil penelitian.” Menurut Iblis, ini adalah contoh sempurna dari jalan pertama favoritnya: menganggap dosa itu kecil. “Hanya sedikit, demi kebaikan sains,” kata mereka, sambil menyertakan hasil eksperimen yang seharusnya tidak lolos sensor moral. Hanya demi mengejar luaran publikasi yang menjerat.

Lalu ada dosen yang berhasil meyakinkan diri sendiri bahwa mencuri tulisan orang lain dan menghilangkan hasil yang dicuri dengan parafrase adalah bentuk penghargaan terhadap karya yang hebat. “Meniru adalah pujian tertinggi,” katanya, meskipun ini sebenarnya adalah perwujudan nyata dari jalan kedua Iblis: mempertimbangkan baik dalam buruk. Iblis mungkin berpikir, “Lalu mengapa saya tidak diberi pahala karena menciptakan dosa?”

Tidak berhenti di situ, ada juga dosen yang dengan bangga merencanakan karier akademisnya tanpa pernah sekalipun memikirkan bimbingan moral mahasiswanya. Mereka lebih tertarik pada koleksi penghargaan di rak buku mereka daripada pada perkembangan intelektual dan etika mahasiswanya. Ini adalah bukti bahwa iblis sangat berhasil dalam membingungkan pikiran—jalan ketiga yang sangat disukainya.

Dan hal yang paling menyedihkan—dan mungkin yang paling menghibur bagi iblis—adalah ketika seorang dosen, dalam keasyikannya mengejar ‘prestasi,’ lupa mengapa dia ada di sini sejak awal. Mereka sibuk dengan segala macam ambisi palsu sampai melupakan esensi terbesar dari profesi ini: mendidik. Pada titik ini, iblis mungkin berpikir, “Terima kasih, Anda telah membuat pekerjaan saya jauh lebih mudah.”

Jadi, meskipun kita para dosen mungkin merasa intelektual dan canggih, mari kita ingat satu hal: bahkan iblis tidak tertarik dengan kebohongan yang kita katakan pada diri kita sendiri. Baginya, kita hanyalah pion dalam permainan besar di mana moral dan etika dianggap hanya gangguan kecil di jalan menuju ‘kesuksesan’ yang fana.