Bayangkan seorang filsuf yang masuk ke ruang debat dengan penuh percaya diri, menarik napas panjang, dan dengan lantang mengumumkan, “Semua orang di sini dungu, kecuali saya!” Seperti seorang keledai berkacamata yang berpikir bahwa dengan mengenakan aksesori, ia telah berubah menjadi seorang ilmuwan roket. Filsuf ini tampaknya yakin bahwa hanya dengan merendahkan semua orang di sekitarnya, ia otomatis naik kelas menjadi genius. Tapi tunggu dulu, apakah benar demikian?
Dalam buku “A History of Western Philosophy,” Bertrand Russell mengingatkan kita tentang bahaya dari sikap seperti ini. Russell, yang tidak pernah kekurangan argumen tajam, secara khusus menyoroti mereka yang terlalu cepat menyebut pandangan lain sebagai “salah” atau “dungu” tanpa argumen yang kokoh. Contoh favoritnya? Hegel, sang pemikir dialektika. Russell menuduh Hegel menggunakan metode dialektika seperti seorang penyair yang menulis puisi indah tapi tak berarti untuk menjelaskan fisika kuantum. Hegel mungkin dengan mudah menyebut semua pendekatan lain sebagai keliru, tapi Russell dengan cerdik bertanya: apakah ini benar-benar kebijaksanaan, atau sekadar tanda bahwa Hegel sendiri mungkin tidak memahami apa yang ia bicarakan?
Russell melanjutkan kritiknya terhadap mereka yang meremehkan metode empiris dan logika formal. Ia melihat bahwa filsuf yang hanya mengandalkan spekulasi metafisik tanpa dasar yang jelas sering kali bersikap seperti ilmuwan palsu: berdiri di atas mimbar, mengangkat jubah akademiknya, dan mengklaim bahwa yang lain “tidak paham,” padahal mereka sendiri tidak bisa membedakan atom dari angin surga. Ketika seseorang begitu cepat menyebut yang lain “dangkal” atau “bodoh,” Russell mengingatkan kita bahwa ini mungkin bukan tanda kecerdasan yang sejati, melainkan kebodohan yang mengenakan jubah intelektual.
Di sisi lain, di buku “The Story of Oriental Philosophy,” L. Adams Beck membawa kita ke dunia pemikiran Timur yang lebih damai, di mana filsuf seperti Buddha, Konfusius, dan Laozi mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengar kesombongan seperti ini. Beck menyoroti bahwa banyak pemikir Timur justru menghindari menyebut pandangan lain sebagai “dungu” atau “salah” secara mutlak. Mereka lebih suka mengembangkan dialog dan memahami perbedaan, dengan kerendahan hati yang dalam dan rasa hormat terhadap perjalanan intelektual setiap orang.
Bayangkan Buddha duduk di sebelah filsuf Barat yang arogan ini, tersenyum lembut dan berkata, “Apakah kamu sudah selesai menghakimi, anakku? Mari kita berbicara tentang kasih sayang.” Atau Konfusius yang dengan sopan menepuk bahu mereka dan berkata, “Belajarlah dari setiap orang, bahkan dari mereka yang kamu sebut bodoh.” Dalam tradisi Timur, kesombongan intelektual seperti ini justru dianggap sebagai bukti bahwa seseorang masih jauh dari pencerahan. Seperti kata Laozi, kebijaksanaan sejati datang dari memahami bahwa kita tidak tahu banyak, dan mengakui keterbatasan kita adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan.
Jadi, apa yang kita pelajari dari Russell dan Beck? Jika seseorang merasa perlu terus-menerus menyebut orang lain dungu, ini mungkin seperti burung gagak yang mengejek bulu merak karena terlalu mencolok—ketika masalah sebenarnya adalah burung gagak itu sendiri tidak dapat melihat betapa gelap bulunya sendiri. Russell dan Beck sama-sama menyiratkan bahwa orang yang terlalu cepat meremehkan pandangan lain tanpa alasan yang masuk akal mungkin sebenarnya sedang memamerkan kebodohannya sendiri.
Jadi, pelajarannya adalah jika Anda menemukan diri Anda ingin menyebut semua orang lain bodoh, mungkin saatnya untuk melepas kacamata kebesaran diri dan menyelami kebijaksanaan sejati—atau paling tidak, coba lihat cermin terlebih dahulu. Sebab, kebodohan sejati adalah berpikir bahwa kita selalu lebih pintar daripada orang lain, sementara kebijaksanaan datang dari belajar, memahami, dan menerima bahwa kita masih memiliki banyak hal yang perlu dipelajari.
Zikir: Kedamaian untuk menghindari kedunguan
Sebagai muslim, zikir, sebuah amalan sederhana namun memiliki dampak luar biasa dalam kehidupan kita. Zikir adalah pengingat terus-menerus akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, membawa ketenangan dalam hati, kejernihan dalam berpikir, dan kelembutan dalam berbicara.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, seringkali kita terjebak dalam kebisingan dunia yang membuat hati kita gelisah, pikiran kita kusut, dan kata-kata kita kasar. Kita mudah terprovokasi, cepat marah, dan tanpa sadar mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Zikir mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan mengingat bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar sana yang selalu mengawasi.
Ketika hati tenang, pikiran pun menjadi jernih. Kita tidak lagi mudah tergelincir dalam emosi negatif atau terbawa oleh arus kebencian. Kata-kata yang keluar dari mulut kita pun berubah; dari umpatan dan kata-kata kasar menjadi ungkapan-ungkapan yang santun dan menyejukkan. Tidak ada lagi kata “dungu” yang meluncur dari bibir kita karena kita sadar bahwa setiap kata memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau melukai.
Marilah kita jadikan zikir sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan zikir, kita belajar untuk menyaring setiap pikiran dan ucapan, memastikan bahwa semuanya berakar dari cinta dan kebijaksanaan. Ketika hati kita tenang, kita menjadi lebih mampu menghadapi setiap tantangan dengan kepala dingin dan jiwa besar, tanpa harus melukai orang lain dengan kata-kata kita.
Zikir bukan hanya sekadar mengucapkan lafaz tertentu; ia adalah cara hidup, sebuah komitmen untuk selalu mengedepankan kebaikan, keikhlasan, dan kedamaian dalam setiap langkah kita. Semoga dengan memperbanyak zikir, kita semua dapat menemukan ketenangan sejati yang membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, penuh dengan cinta dan penghormatan satu sama lain.