Sains. Sebuah kata yang sering kita dengar dan sering kita puja bak selebriti papan atas dalam ajang penghargaan. Namun, apakah kita benar-benar memahami apa itu sains? Atau, mungkin, kita hanya menganggap sains sebagai kumpulan teks tebal yang penuh rumus dan tabel, seperti buku panduan merakit furnitur? Apakah sains hanya sekadar menghafal teori, tanpa memahami bagaimana teori-teori tersebut lahir dari keringat dan perjuangan para ilmuwan yang bekerja keras di laboratorium?
Bayangkan sebuah diskusi tentang sains, dan tiba-tiba seseorang berkata, “Lihat, ada publikasi baru! Ini sains yang sesungguhnya!” Seolah-olah sains adalah novel terlaris yang dipuji karena alur ceritanya yang memikat, bukan karena metodologi yang ketat dan penelitian yang tiada henti di baliknya. Dalam pandangan ini, sains hanyalah hasil akhir — kumpulan teks indah yang siap dipublikasikan, tanpa perlu tahu bagaimana para ilmuwan ‘meramu’ hipotesis, eksperimen, dan kesimpulan yang tidak terduga.
Namun, bukankah pendekatan ini agak … bagaimana ya, dangkal? Seperti seseorang yang berpikir bahwa roti dapat dibuat hanya dengan membaca daftar bahan-bahannya tanpa tahu cara menguleni adonan. Atau seperti mencoba memahami film “Nagabonar” hanya dengan membaca sinopsis singkatnya.
Saat ini, kita sering terjebak dalam obsesi dengan “hasil akhir” sains, yaitu publikasi ilmiah. Ya, publikasi, Q1 lagi! Mata uang terpenting dalam dunia akademis. Pertanyaan “Berapa banyak artikel yang telah Anda terbitkan tahun ini?” menjadi lebih penting daripada “Bagaimana Anda melakukan penelitian itu?” Seolah-olah yang penting adalah berapa banyak makalah yang dihasilkan, tanpa memperhatikan apakah prosesnya dilakukan dengan benar atau apakah data yang diperoleh benar-benar valid. Jika sains hanya diukur dari jumlah publikasi, mungkin kita semua bisa memenangkan Hadiah Nobel hanya dengan menulis “Eksperimen ini gagal” di selembar kertas kosong.
Di sinilah kritik Bertrand Russell terhadap filsafat Hegel berperan. Russell, seorang filsuf tajam yang terkenal karena ketegasannya, telah lama memperingatkan tentang bahaya memandang sains hanya sebagai hasil akhir atau kumpulan teks. Bagi Russell, filsafat Hegel tampak seperti sup yang terlalu encer: penuh cairan dan rempah-rempah yang datang entah dari mana, tetapi sulit menemukan substansi yang sebenarnya.
Jika kita membaca kritikan Bertrand Russell kepada Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam bukunya “A History of Western Philosophy” yang tebal itu, Russel berpendapat bahwa Hegel membuat kesalahan besar dengan memandang seluruh realitas sebagai “keseluruhan yang agung” tanpa memperhatikan proses logis yang jelas dan konkret. Bagi Hegel, segala sesuatu harus dipahami sebagai bagian dari “yang absolut”, sebuah konsep yang tampak agung sampai kita menyadari bahwa itu seperti mengklaim bahwa semua sup di dunia adalah satu sup besar tanpa memperhatikan bahan-bahannya. Russell tampaknya bertanya kepada Hegel, “Bisakah Anda menunjukkan kepada saya cara mencapai ‘yang absolut’ ini dengan langkah-langkah yang jelas?” Bagi Russell, pendekatan Hegel yang hanya berfokus pada tujuan abstrak tanpa menjelaskan proses untuk mencapainya seperti seorang penyair yang lebih tertarik pada kata-kata indah daripada seorang ilmuwan sejati.
Kenyataannya, banyak ilmuwan saat ini lebih peduli tentang berapa banyak publikasi yang dapat mereka hasilkan daripada memastikan bahwa metode yang mereka gunakan benar-benar memenuhi standar ilmiah. Penelitian telah menjadi seperti acara memasak instan, di mana resep diambil dari internet dan disajikan dalam 10 menit, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya dapat dimakan. Prosesnya? Siapa peduli! Yang penting adalah hasil akhirnya terlihat mengesankan dalam jurnal ilmiah.
Pendekatan ini, selain membuat kita malas berpikir, juga berpotensi menyesatkan. Bayangkan seorang dokter yang memutuskan diagnosis pasien hanya berdasarkan teori dalam buku teks tanpa mempertimbangkan gejala atau pemeriksaan fisik. “Hmm, menurut buku ini, jika Anda merasa pusing, itu pasti ada hubungannya dengan posisi planet Mars.” Selamat datang di dunia di mana sains menjadi novel fantasi dan kita semua hanyalah karakter.
Sains bukan hanya teks, dan sains yang baik bukanlah tentang mengumpulkan halaman demi halaman tulisan tanpa metodologi yang jelas. Sains adalah tentang bertanya “mengapa” dan “bagaimana” dengan rasa ingin tahu yang mendalam, bukan hanya menyalin “apa” yang telah ditulis. Jangan sampai kita terjebak dalam pandangan bahwa sains hanyalah kumpulan kata-kata tanpa makna. Sebab, jika sains hanyalah teks, maka mungkin kesimpulan kita tidak lebih ilmiah daripada horoskop di koran.
Jadi, bagi para pengagum sains sebagai teks: Maaf, kami menginginkan lebih dari sekadar kata-kata indah. Kami menginginkan proses yang jelas, transparansi, dan mungkin sedikit kejutan dari eksperimen yang gagal. Setidaknya, itulah yang membuat sains begitu menarik — bukan hanya hasil akhirnya, tetapi juga perjalanannya. Sebelum kita menulis bab berikutnya dalam “novel sains” ini, mari kita pastikan kita tahu cara menulis cerita dengan benar, dan tidak hanya terpaku pada akhir yang apik.
Seperti kritik Russell terhadap Hegel, janganlah kita terpesona oleh ide-ide besar yang tidak jelas, tetapi fokuslah pada substansi yang sebenarnya. Sains tanpa proses yang tepat seperti memanggang roti tanpa ragi — hasilnya keras, hambar, dan tidak enak.