Filsafat sains: Bukan Sekedar teori, tapi kisah nyata

Saya baru saja menyelesaikan penulisan buku yang akan saya gunakan untuk mengajar kuliah Sains Dasar dan Filsafat Ilmu di Universitas Negeri Malang (UM) dengan judul Filsafat Sains: Bukan Sekadar Teori, Tapi Kisah Nyata (hanya digunakan dalam kalangan terbatas). Pada bagian terakhir, saya membahas filsafat sains untuk Indonesia. Opini ini juga mengkritisi maraknya praktik pamer di Indonesia, di mana beberapa dosen yang masuk dalam Daftar Top 2% World Scientists, yang disusun oleh tim dari Stanford University bekerja sama dengan Elsevier menggunakan data dari Scopus, sering kali tidak memahami esensi publikasi ilmiah dari perspektif yang lebih mendalam. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak berkembang sebagaimana mestinya, terhambat oleh tata kelola dan pemahaman yang keliru serta dangkal. Baca juga “Simulakra ketiga dalam publikasi ilmiah: Pandangan yang menakutkan” di blog ini.

Filsafat Sains untuk Indonesia

Filsafat sains menawarkan kerangka kerja intelektual yang esensial untuk memahami bagaimana ilmu pengetahuan berkembang, apa tujuan dari penelitian ilmiah, dan bagaimana kebenaran dalam sains bisa dicapai. Di Indonesia, menerapkan dan menghayati pandangan-pandangan para filsuf sains seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Francis Bacon sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman atau “salah kaprah” yang dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pentingnya menghayati pandangan filsafat sains terletak pada kemampuannya untuk mencegah beberapa kesalahpahaman umum. Salah satu mispersepsi adalah keyakinan bahwa semua pengetahuan adalah mutlak dan tidak dapat berubah. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan selalu berkembang melalui revisi, penemuan baru, dan perubahan paradigma. Sikap seperti ini dapat membatasi kreativitas dan inovasi dalam penelitian ilmiah.

Selain itu, persepsi bahwa kemajuan sains hanya ditunjukkan melalui publikasi ilmiah juga kurang tepat. Proses ilmiah itu sendiri merupakan inti dari perkembangan ilmu pengetahuan. Francis Bacon menekankan pentingnya metode empiris yang berbasis pada pengamatan dan eksperimen. Baginya, tanpa proses pengumpulan data yang sistematis dan eksperimen yang teliti, pengetahuan ilmiah tidak dapat berkembang dengan baik. Mengabaikan proses ini dan hanya fokus pada hasil akhir berupa publikasi dapat mengerdilkan pemahaman kita tentang esensi ilmu pengetahuan.

Karl Popper juga menyoroti pentingnya proses falsifikasi dalam sains. Menurutnya, kemajuan ilmiah dicapai melalui upaya terus-menerus untuk menguji dan mencoba membuktikan kesalahan teori-teori yang ada. Jika kita hanya menilai kemajuan dari jumlah publikasi tanpa mempertimbangkan kualitas proses pengujian dan kritik terhadap teori tersebut, maka kita kehilangan esensi dari metode ilmiah yang sejati.

Thomas Kuhn, dengan konsep “revolusi paradigma,” menunjukkan bahwa perubahan besar dalam sains terjadi melalui pergeseran fundamental dalam cara pandang kita terhadap dunia, bukan semata-mata melalui akumulasi publikasi. Proses pergeseran ini melibatkan debat intens dan evaluasi kritis yang mendalam dalam komunitas ilmiah. Menghargai proses ini lebih penting daripada sekadar jumlah publikasi yang dihasilkan.

Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tidak hanya bergantung pada metodologi yang benar, tetapi juga pada cara pikir yang terbuka, kritis, dan dinamis. Pemikiran kritis dan terbuka, seperti yang diusung oleh Popper melalui falsifikasionisme, menuntut agar teori diuji dengan bukti, dan ilmuwan siap meninggalkan teori yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kuhn menekankan pentingnya keterbukaan terhadap revolusi paradigma, di mana teori-teori ilmiah yang ada dapat digantikan ketika paradigma baru terbukti lebih efektif dalam menjelaskan fenomena alam.

Pluralisme metodologis juga memainkan peran penting dalam memajukan ilmu pengetahuan. Gagasan Paul Feyerabend tentang “apa pun bisa berlaku” mendorong inovasi dan eksperimen dengan berbagai metode ilmiah yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini dapat memfasilitasi penelitian yang lebih inklusif dan mengakui keberagaman perspektif.

Peran kebijakan dalam memajukan ilmu pengetahuan juga tidak bisa diabaikan. Kebijakan publik harus mendukung penciptaan lingkungan yang kondusif untuk penelitian ilmiah, termasuk pendanaan yang memadai, pendidikan sains yang kuat, serta dukungan terhadap kebebasan akademik dan kolaborasi internasional. Francis Bacon menekankan pentingnya metode empiris yang berbasis pada pengamatan dan eksperimen. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung infrastruktur penelitian seperti laboratorium, pusat data, dan fasilitas penelitian lainnya sangat krusial untuk kemajuan sains.

Kebijakan yang tidak tepat dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip-prinsip kebijakan yang harus dipertimbangkan meliputi dukungan terhadap penelitian inovatif dan eksperimen bebas, pengalokasian dana yang memadai untuk penelitian dan pendidikan sains, serta memfasilitasi kolaborasi internasional. Selain itu, membangun budaya ilmiah yang kritis dan terbuka melalui kebijakan pendidikan dapat membentuk generasi ilmuwan yang mampu mempertanyakan asumsi yang ada dan terus mencari pemahaman yang lebih baik. Kebijakan juga harus memperhatikan faktor sosial dan budaya yang dapat menghambat perkembangan sains, seperti dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dipertanyakan.

Kesimpulannya, kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia sangat tergantung pada cara kita memahami dan menerapkan filsafat sains. Dengan menghindari salah kaprah dan kesalahpahaman, serta mendukung kebijakan yang sesuai, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menghayati pandangan-pandangan filsuf seperti Popper, Kuhn, dan Feyerabend akan membantu memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang, serta menciptakan kebijakan yang mendorong inovasi dan kemajuan yang berkelanjutan. Menghargai proses ilmiah sama pentingnya dengan hasil akhir, karena tanpa proses yang kritis dan dinamis, ilmu pengetahuan tidak akan mampu berkembang dan beradaptasi dengan tantangan baru.

Kemajuan sains tidak hanya ditentukan oleh metode ilmiah yang digunakan atau jumlah publikasi yang dihasilkan, tetapi juga oleh kebijakan yang mendukung penelitian dan pendidikan sains, serta sikap terbuka dan kritis terhadap semua bentuk pengetahuan.