Pedagang kaki lima: Filosofi bertahan dalam ketidakadilan

Foto di atas diambil oleh anak saya saat kami membeli nasi goreng malam hari di dekat rumah. Sebuah momen sederhana, tetapi penuh makna yang lebih dalam jika kita merenung sejenak. Pedagang kaki lima seperti penjual nasi goreng ini adalah cerminan sempurna dari kekacauan sosial, ekonomi, dan pemerintah yang gemar memberi mereka tantangan hidup bak ujian nasional. Siapapun yang berjalan di sudut-sudut kota pasti bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa bertahan? Apakah mereka sekadar manusia super yang tahan banting terhadap ekonomi yang bagaikan treadmill tanpa akhir? Atau mungkin ada dimensi filosofis yang lebih dalam dari sekadar kemampuan menjual nasi goreng dan pecel lele?

Mari kita mulai dengan pemandangan yang lebih besar. Ketidakadilan ekonomi. Di sini kita punya dunia di mana sebagian besar kekayaan berada di tangan segelintir orang yang bahkan bingung bagaimana menghabiskannya. Sementara itu, pedagang kaki lima? Mereka di sisi lain, mungkin satu-satunya komunitas yang mampu memaknai hidup dari genggaman selembar seribu rupiah—sebuah ekonomi informal yang lahir dari sistem formal yang gagal mengakomodasi mayoritas rakyatnya.

Namun, jangan salah sangka, pedagang kaki lima bukan sekadar korban. Mereka adalah bukti hidup bahwa ketahanan bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual. Di tengah regulasi pemerintah yang lebih sering membingungkan ketimbang membantu, mereka tetap berdiri kokoh, menjual barang-barang kebutuhan pokok dengan harga yang bahkan bisa membuat dompet bernapas lega. Bagi sebagian orang, mereka adalah bentuk gangguan urban. Tapi, bagi yang mengerti, mereka adalah roh kehidupan kota, menjaga harmoni sosial di tempat di mana rasanya harmoni hanya ada dalam lirik lagu.

Jadi, jika ada satu pelajaran yang bisa kita ambil dari pedagang kaki lima, itu adalah bahwa mereka tidak sekadar bertahan. Mereka mendefinisikan ulang apa artinya hidup dalam sistem yang tidak adil, sambil tetap menjaga martabat dan hubungan sosial. Di tengah gemuruh ketidakadilan, mereka terus memainkan peran penting sebagai penyelamat kecil yang memberi napas dalam keseharian kota.

Pada akhirnya, fenomena bertahannya mereka adalah simfoni dari ketidakadilan ekonomi dan ketahanan manusia yang berakar dalam. Sebuah ironi yang menggugah kita untuk merenung: siapa sebenarnya yang lebih membutuhkan reformasi—pedagang kaki lima, atau sistem yang terus-menerus mengabaikan mereka?