Mari kita lihat fenomena yang sering kita temui: bimbingan belajar mewah berdiri megah di pinggir jalan, seakan menjadi menara gading pendidikan tambahan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang “beruntung”. Di balik papan besar yang mengilap, terselip ironi: pendidikan, yang seharusnya menjadi hak semua orang, kini dijadikan komoditas berharga yang hanya mampu dinikmati oleh yang punya uang lebih. Sementara anak-anak dari keluarga berada sibuk mempersiapkan diri dengan bantuan guru-guru les berpengalaman, bagaimana dengan mereka yang tak mampu? Jawabannya sederhana: mereka harus berjuang sendirian, bergelut dengan buku-buku yang mungkin tidak lengkap, dan berharap keberuntungan berpihak pada mereka.
Lembaga bimbingan belajar ini tak ubahnya mesin uang yang pandai memanfaatkan ketakutan masyarakat akan masa depan. Tak heran, banyak keluarga rela mengorbankan tabungan hanya untuk memastikan anak-anak mereka bisa mengikuti les. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena sistem pendidikan kita yang tampaknya memaksa mereka untuk ikut serta. Seolah-olah, jika tidak mengikuti les, harapan untuk masuk universitas idaman langsung runtuh, seperti kartu domino yang terjatuh satu per satu.
Bayangkan, di negeri yang katanya berlandaskan Pancasila, pendidikan berkualitas menjadi hal yang bisa dibeli di rak-rak toko, seperti barang mewah lainnya. Mereka yang berduit melangkah pasti menuju kesuksesan, sementara yang kurang beruntung hanya bisa menatap dari jauh, berusaha mencari cara agar tetap bertahan. Ini adalah bentuk ketimpangan yang sangat nyata. Sistem yang ada seolah berbisik, “Kalau kau punya uang, masa depan cerah menantimu. Kalau tidak, ya, selamat berjuang.”
Dan di mana peran negara? Ya, negara. Seolah berdiri di pinggir lapangan, menjadi penonton pasif yang lebih sibuk mengurusi hal lain daripada memastikan bahwa pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua orang. Bimbingan belajar mewah dan biaya kuliah yang melambung tinggi semakin memisahkan masyarakat menjadi dua kelompok: yang mampu membayar tiket mahal menuju masa depan dan yang hanya bisa bermimpi.
Di sinilah letak kejanggalan besar dalam sistem ini. Pendidikan seharusnya menjadi hak asasi, bukan barang dagangan. Tapi nyatanya, dalam dunia yang kita tinggali, pendidikan berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang mampu membelinya. Kapitalisme merambah ke bidang pendidikan, menjadikannya arena bisnis yang menguntungkan bagi segelintir orang, sementara yang lain terus bergulat dalam ketidakpastian.
Jadi, apakah ini adil? Apakah kita sebagai masyarakat telah menerima bahwa masa depan anak-anak kita tergantung pada seberapa tebal dompet orang tua mereka? Kalau memang begitu, mari kita akui dengan jujur bahwa pendidikan bukan lagi soal meritokrasi, melainkan soal siapa yang mampu membeli tiket menuju kesuksesan. Selamat datang di era kapitalisme pendidikan, di mana uang bukan hanya bicara, tetapi menentukan segalanya.