Tadi pagi saya baru saja mengajar kuliah Sains Dasar kepada mahasiswa tingkat 1 di Universitas Negeri Malang (UM) dan membahas tentang Plato yang berkontribusi besar pada filsafat ilmu. Kita hidup di zaman di mana layar ponsel dan komputer menjadi cermin baru yang membentuk realitas kita. Setiap orang seolah berlomba menampilkan diri, memainkan peran sebagai bintang dalam panggung digital. Semua ingin diperhatikan, dihormati, dan diakui. Tetapi, apakah yang kita lihat benar-benar mereka? Atau hanya bayang-bayang yang terpantul dari cahaya monitor yang menipu kita?
Seandainya Plato hidup di era ini, dia mungkin akan tersenyum sinis dan berkata, “Selamat datang kembali di gua!” Di dalam Alegori Gua, Plato bercerita tentang manusia yang terkurung dalam gua, hanya bisa melihat bayangan di dinding yang diproyeksikan oleh api di belakang mereka. Para tahanan ini percaya bahwa bayangan itulah kenyataan, padahal mereka hanya melihat pantulan samar dari dunia nyata. Terdengar akrab?
Kini, kita duduk di depan layar, terpesona oleh tampilan-tampilan sempurna yang diproduksi dengan pencahayaan tepat dan filter yang menyilaukan. Seperti tahanan dalam gua Plato, kita menatap bayang-bayang ini dan menganggapnya sebagai kenyataan. Kita kagum pada “kehidupan” yang dipajang di Instagram, TikTok, atau X, tanpa menyadari bahwa yang kita lihat hanyalah gambar buram dari kehidupan nyata yang tersembunyi di baliknya.
Di media sosial, realitas telah mengalami mutasi. Bukannya menghadapi dunia nyata, kita malah terjebak dalam dunia maya yang penuh dengan citra dan ilusi. Apa bedanya dengan bayang-bayang Plato? Hanya satu: gua kita sekarang lebih canggih, dilengkapi dengan WiFi dan filter wajah.
Bayang-bayang yang dulu di dinding gua sekarang beralih menjadi bayang-bayang digital, dan ironisnya, kita menyambutnya dengan sukacita. Kita bahkan ikut-ikutan memproyeksikan bayang-bayang kita sendiri, membentuk citra yang kita inginkan, bukan yang kita miliki. Ponsel kita menjadi sumber cahaya yang memproyeksikan versi terbaik dari diri kita ke layar orang lain. Tidak peduli kenyataan seperti apa, yang penting tampilan.
Sialnya, seperti tahanan Plato, kita bahkan tidak sadar sedang terperangkap. Semakin banyak waktu yang kita habiskan di dunia maya, semakin kita jauh dari kenyataan. Kita berbagi opini, foto makanan, dan video joget, seolah-olah itu semua penting. Sementara itu, kenyataan yang sebenarnya ada di luar layar semakin kabur, terlupakan, dan kita menjadi bagian dari bayang-bayang itu sendiri.
Jadi, apakah kita benar-benar lebih bebas daripada para tahanan di gua Plato? Atau justru kita telah mengurung diri dalam gua digital yang baru, di mana kita sendiri yang dengan sukarela memegang rantainya? Pfft, tapi jangan khawatir. Selama kita punya sinyal, gua ini tetap menyala terang.