Tantangan editor jurnal di era keterbukaan ilmu pengetahuan

Sejak tahun 2005, saat saya memulai perjalanan sebagai editor jurnal dengan menginisiasi Malaysian Journal of Fundamental and Applied Sciences (MJFAS) di Universiti Teknologi Malaysia (UTM), saya tak pernah membayangkan akan mencapai titik ini—saat jurnal yang dulu berjuang mencari artikel, kini dibanjiri manuskrip setiap harinya. Keadaan berubah drastis, dari kesulitan mencari paper yang berkualitas hingga kewalahan menangani tumpukan submission yang datang bak air bah. Dalam kurun waktu belasan tahun, MJFAS telah berkembang pesat, diakui dan diindeks oleh Scopus dan WoS, dan kini menjadi destinasi yang diincar para peneliti untuk mempublikasikan karya mereka.

Namun, di balik ini ada realita yang jarang diketahui oleh publik. Ketika paper-paper itu bertubi-tubi masuk, peran saya sebagai editor berubah dari sekadar memfasilitasi proses publikasi menjadi penjaga gerbang kualitas. Dulu, saya bisa memberikan lebih banyak waktu untuk membaca dan merefleksikan setiap manuskrip yang dikirimkan, mencoba mencari potensi di balik ide-ide yang diajukan. Sekarang, dengan keterbatasan waktu dan kapasitas, saya harus membuat keputusan cepat hanya dalam hitungan menit.

Mungkin terdengar arogan ketika saya mengatakan bahwa lebih dari 80% paper ditolak langsung tanpa melalui reviewer. Tapi, ini bukan tentang arogansi atau kekuasaan seorang editor. Ini tentang efisiensi dan menjaga integritas jurnal. Kapasitas kami hanya 20 paper per issue dan diterbitkan 6 kali setahun—itu berarti hanya 120 paper yang bisa diterima setiap tahunnya. Sedangkan jumlah submission yang masuk mencapai puluhan per bulan. Tanpa seleksi ketat, bagaimana mungkin menjaga standar kualitas?

Kunci dari keputusan ini adalah “keseriusan” penulis. Sebagai editor, saya bisa melihatnya dari berbagai aspek: kerapian penulisan, kesesuaian bahasa, hingga kejelasan ide. Di era ini, di mana teknologi AI memudahkan siapa saja untuk menghasilkan artikel, tugas saya sebagai editor bukan hanya menilai konten, tapi juga menilai niat dan dedikasi di balik pembuatan karya tersebut. Artikel review yang hanya berisi ringkasan tanpa ada critical analysis, misalnya, sangat mudah dibuat dengan bantuan AI. Lalu, apakah ini yang layak diterbitkan?

Tentu saja, keputusan cepat sering kali menimbulkan pertanyaan dan kekecewaan dari para penulis. Tidak sedikit yang marah dan menganggap penolakan dalam beberapa menit sebagai ketidakadilan. Tapi saya perlu menegaskan, penolakan cepat bukanlah bentuk meremehkan, melainkan kejelian dalam menilai mana karya yang pantas mendapatkan perhatian lebih.

Setiap editor yang berpengalaman akan memahami, tugas kami bukan sekadar mengisi halaman jurnal. Kami adalah penjaga gawang yang memastikan hanya ide-ide terbaik dan orisinal yang tersaring, bukan karena kami berkuasa, tetapi karena tanggung jawab kami pada ilmu pengetahuan dan komunitas akademik.

Jadi, ketika saya mereject sebuah paper hanya dalam beberapa menit, itu bukan berarti paper tersebut tidak bernilai. Bisa jadi, paper tersebut hanya belum cukup siap untuk berkompetisi di level ini. Karena pada akhirnya, penerbitan ilmiah bukan sekadar soal kuantitas, tapi tentang memberikan kontribusi yang nyata dan berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.