Kisah ini saya tulis sebagai refleksi dari pemikiran Martin Heidegger yang diuraikan dalam magnum opusnya “Time and Being“. Heidegger berbicara tentang bagaimana manusia sering terjebak dalam rutinitas dan kehilangan hubungan dengan Being yang autentik. Dalam konteks dunia akademik dan pendidikan tinggi saat ini, saya melihat bagaimana hakikat penelitian, yang seharusnya mengejar kebenaran sejati, terlupakan di balik kabut angka-angka dan tuntutan komersialisasi. Kabut ini, yang melambangkan metrik, publikasi, dan tujuan finansial, menutupi esensi sejati dari riset yang dilakukan, seperti halnya Being yang sering kali tersembunyi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.
Di sebuah universitas yang megah, tersembunyi di balik dinding-dinding laboratorium dan ruang kelas, ada sebuah legenda tentang Penelitian Sejati. Para profesor tua selalu berbicara dengan nada berbisik tentangnya, seolah-olah ia adalah sesuatu yang begitu penting, namun kini terlupakan. Konon, dahulu kala, Penelitian Sejati adalah fondasi dari segala ilmu pengetahuan, sebuah upaya untuk mengejar kebenaran, menjawab pertanyaan mendasar, dan menemukan jawaban yang membawa kemajuan bagi umat manusia.
Namun, seiring berjalannya waktu, kabut tebal mulai menutupi penelitian ini. Kabut ini tidak seperti kabut biasa yang turun di pagi hari. Kabut ini terbuat dari angka-angka yang rumit, indeks sitasi, metrik H-index, jumlah publikasi, dan dana hibah penelitian. Semakin tebal kabut itu, semakin sulit bagi siapa pun untuk melihat Penelitian Sejati. Banyak peneliti muda yang baru saja bergabung dengan dunia akademik tidak menyadari bahwa kabut ini telah menyelimuti mereka. Mereka dengan patuh mengikuti tuntutan untuk menerbitkan sebanyak mungkin makalah, mengejar penghargaan, dan memenuhi target yang ditentukan oleh lembaga-lembaga eksternal. Mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk angka dan metrik, tanpa pernah bertanya: Apa yang sebenarnya sedang kita cari?
Suatu hari, di sebuah ruang penelitian yang sunyi, seorang peneliti muda bernama Pehul mulai merasa gelisah. Ia melihat angka-angka di layar komputernya, grafik pertumbuhan sitasi dan laporan keuangan proyek penelitian, namun sesuatu terasa salah. Ia bertanya pada dirinya sendiri, Apakah inilah tujuan dari penelitian ini? Apakah hanya ini yang penting, angka-angka dan penghargaan? Rasa gelisah itu terus menghantuinya, hingga ia tidak lagi mampu mengabaikannya.
Pehul mendengar bisikan samar tentang Penelitian Sejati dari salah satu profesor tua yang dikenal memiliki kebijaksanaan mendalam. Profesor itu berkata kepadanya, “Di balik kabut angka-angka dan komersialisasi ini, ada sesuatu yang lebih besar yang telah terlupakan. Sesuatu yang kita sebut Penelitian Sejati, hakikat dari riset yang sebenarnya.”
Dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Pehul mulai menyusuri jalur kabut itu. Ia berhenti memperhatikan grafik dan laporan pendanaan, dan mulai bertanya: Mengapa aku melakukan penelitian ini? Apa yang sebenarnya ingin aku temukan? Setiap pertanyaan yang ia ajukan membuka sedikit demi sedikit kabut yang menyelimuti pikirannya. Ia mulai melihat bahwa Penelitian Sejati tidak terletak pada angka atau metrik, tetapi pada pencarian kebenaran, penemuan makna baru, dan kontribusi sejati bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Dalam perjalanan ini, Pehul mengalami Ereignis, momen di mana kabut mulai terangkat, dan ia menyadari bahwa penelitian bukanlah sekadar soal publikasi atau peringkat universitas. Ia merasakan kehadiran Penelitian Sejati yang selama ini tersembunyi, dan hakikat penelitian yang sebenarnya mulai terungkap. Unconcealment terjadi, kebenaran mulai disingkap, dan Pehul merasakan kedalaman penelitian yang telah lama terlupakan. Ia memahami bahwa penelitian sejati tidak bisa diukur oleh angka-angka semata, melainkan oleh dampaknya terhadap pemahaman kita tentang dunia dan kehidupan.
Tetapi perjalanan Pehul tidak mudah. Di sepanjang jalan, ia dihadapkan dengan suara-suara idle talk yang datang dari kolega dan institusi, desakan untuk mengejar metrik, memperbanyak publikasi, dan mendapatkan pendanaan lebih banyak. “Inilah yang penting,” kata mereka. “Angka-angka ini yang menentukan masa depan akademismu.”
Namun, Pehul tetap teguh. Ia tahu bahwa angka-angka itu hanyalah kabut yang menutupi Penelitian Sejati. Ia memilih untuk berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar, membiarkan penelitian yang ia lakukan berbicara melalui dampak sosialnya, bukan melalui angka-angka di laporan keuangan. Ia memilih untuk menghidupkan kembali makna dari Being dalam risetnya, sebuah proses di mana penelitian menjadi otentik, bermakna, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dan dengan itu, Penelitian Sejati yang telah lama tersembunyi, kembali hadir. Tidak lagi dibebani oleh kabut komersialisasi atau angka-angka yang dangkal, Pehul melihat hakikat dari apa yang ia kejar selama ini. Ia merasakan kedalaman, makna, dan keberadaan sejati dari penelitiannya, sebuah penyingkapan yang tidak bisa ditemukan di balik layar metrik atau peringkat universitas, tetapi dalam pencarian kebenaran yang otentik.
Refleksi
Kisah Pehul adalah cerminan dari perjuangan para akademisi dan peneliti di dunia modern, yang sering kali terjebak dalam kabut angka dan tuntutan komersial. Namun, dengan refleksi mendalam dan keberanian untuk mempertanyakan tujuan riset, kita dapat menemukan kembali Penelitian Sejati, hakikat dari riset yang selama ini tersembunyi. Kabut angka mungkin menutupi pandangan kita, tetapi di baliknya, ada sesuatu yang jauh lebih berharga: pencarian kebenaran dan penemuan yang otentik.
Dengan ini, saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan esensi dari riset dan penelitian, sebagaimana Heidegger mengajarkan kita untuk memahami Being sebagai sesuatu yang autentik, melampaui kebisingan dan rutinitas yang dangkal.
Definisi istilah-Istilah Heidegger
Being (Keberadaan): Konsep fundamental dalam pemikiran Heidegger yang merujuk pada hakikat atau esensi sesuatu. Dalam konteks ini, Being merujuk pada hakikat riset yang otentik, yang berakar pada pencarian kebenaran, bukan sekadar angka atau metrik.
Presencing (Kehadiran): Proses di mana Being atau esensi dari sesuatu menjadi nyata atau hadir. Dalam konteks riset, presencing menggambarkan bagaimana penelitian dapat hadir secara otentik ketika peneliti membuka diri terhadap hakikat riset itu sendiri.
Ereignis (Peristiwa Apropriasi): Momen di mana Being dan waktu terungkap bersama-sama, memungkinkan kita untuk mengalami hakikat sesuatu. Ereignis dalam penelitian adalah saat di mana peneliti menyadari bahwa esensi riset tidak hanya dalam angka, tetapi dalam pencarian makna yang lebih dalam.
Unconcealment (Penyingkapan): Proses di mana sesuatu yang tersembunyi menjadi terbuka atau terlihat. Dalam konteks ini, unconcealment menggambarkan bagaimana hakikat riset yang tersembunyi di balik komersialisasi dapat disingkapkan kembali, mengungkap esensi penelitian yang otentik.
Idle Talk (Percakapan Hampa): Percakapan dangkal yang tidak membawa makna mendalam. Dalam dunia akademik, idle talk muncul dalam bentuk fokus berlebihan pada metrik dan prestasi kuantitatif, yang mengalihkan perhatian dari tujuan utama riset.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep-konsep ini, kita bisa melihat bahwa riset yang sejati bukanlah tentang memenuhi standar kuantitatif atau mendapatkan pengakuan eksternal, melainkan tentang Being, pencarian kebenaran dan makna yang mendalam yang seharusnya menjadi inti dari segala kegiatan akademik.